Karl Marx seorang ekonom dan filsuf dari Jerman pernah menulis, “Kemajuan sosial dapat diukur oleh posisi sosial perempuan.” Untuk mencapai kemajuan sosial itu, perempuan perlu diberi ruang untuk mengisi posisi-posisi sosial yang selama ini belum merata persebarannya. Demi mendapatkan posisi-posisi itu, perempuan harus diberi edukasi yang benar mengenai peran dan tantangannya dalam kehidupan sosial.
Dengan semangat ini, PETRASA kembali mengadakan pelatihan perempuan potensial lanjutan pada Rabu sampai Kamis lalu tepatnya pada 5 hingga 6 September 2018 di Taman Wisata Iman Dairi. Kegiatan ini merupakan pelatihan yang ketiga kali dengan tema yang berbeda. Dua pelatihan sebelumnya dilakukan pada tahun 2017 dan pada Juli 2018 lalu.
Pelatihan ini diikuti oleh enam belas orang perempuan potensial dari kelompok-kelompok dampingan Petrasa di Kabupaten Dairi. Berbeda dengan pelatihan sebelumnya, kali ini para perempuan potensial diajak untuk memahami beberapa topik penting HAM bersama dengan Ibu Saur Tumiur Situmorang. Ia adalah anggota Komisi Nasional Perempuan sekaligus juga salah satu pendiri Yayasan Petrasa.
Pelatihan ini dibuka oleh Lidia Naibaho, Sekretaris Eksekutif Yayasan PETRASA. Lidia menjelaskan tujuan yang ingin dicapai bersama melalui serial pelatihan bagi kelompok Perempuan Potensial ini. Kelompok perempuan dampingan PETRASA ini diharapkan memiliki kapasitas dalam berbagai bidang yang secara langsung bersentuhan dengan kehidupan mereka di desa, sehingga muncullah para perempuan pemimpin yang berkualitas di masa depan.
Hari pertama, para peserta ini diajak belajar memahami Hak Asasi Manusia khususnya dari sudut pandang perempuan. Ibu Saur menjelaskan jenis-jenis HAM dan permasalahan hak asasi yang sering dialami perempuan. Salah satu kasus pelanggaran Hak Asasi Perempuan adalah kekerasan seksual dimana perempuan sering menjadi korban yang tidak mendapatkan perlindungan dengan pantas.
Untuk mengatasi permasalahan seperti ini Beliau menekankan pentingnya meningkatkan pemahaman kekerasan berbasis gender terhadap perempuan sebagai isu pelanggaran HAM. Ia juga mengimbau perlu dibuat kelompok solidaritas perempuan dalam upaya menghentikan segala kekerasan terhadap perempuan.
Materi yang padat tidak membuat para perempuan potensial kehilangan minat untuk belajar. Pada hari kedua mereka kembali berkumpul untuk mempelajari topik tentang Gender dan Seks. Sebagai narasumber tunggal, Ibu Saur kembali menjelaskan pengertian gender yang berkaitan dengan peran dan fungsi perempuan dan laki-laki dalam tatanan sosial. Seorang perempuan yang juga berperan sebagai ibu perlu memahami konsep gender dan seks untuk bisa mendidik anak-anak mereka dengan pemahaman yang benar.
“Pengertian yang kurang benar tentang gender melahirkan ketidakadilan baik bagi laki-laki dan terutama bagi perempuan,” terang Beliau kepada para peserta.
Untuk lebih memahami konsep hak asasi perempuan dan konsep gender dan seks, Ibu Saur mengaitkannya dengan kedudukan perempuan dalam adat Batak. Para perempuan potensial yang mengikuti pelatihan itu memang semuanya perempuan suku Batak. Membaca ulang kedudukan perempuan dalam adat Batak menjadi penting karena kuatnya ikatan antara perempuan dengan adat yang membesarkan seorang perempuan.
Sejatinya dalam adat Batak, perempuan diperlakukan setara hormatnya dengan kaum laki-laki. Meski masyarakat adat Batak menganut sistem patrilineal, norma dan nilai adat yang berlaku sesungguhnya tidak membeda-bedakan kedudukan perempuan dan laki-laki. Contohnya terdapat pada konsep Dalihan Natolu dalam adat Batak dimana setiap orang harus sayang pada anak perempuan. Contoh lain adalah keberadaan seorang istrilah yang membuat seorang laki-laki bisa masuk dalam posisi Hula-hula, Dongan Tubu, atau Boru.
Para peserta diskusi pun dengan antusias bertanya beberapa kasus yang mereka alami dalam adat Batak. Diskusi berjalan dengan lancar dan hangat karena memang topiknya sangat dekat dengan keseharian para perempuan.
Acara yang berlangsung selama dua hari itu pun berakhir dengan foto bersama dan pemberian cinderamata. Para perempuan potensial tersebut semakin mantap dengan bekal yang mereka dapat selama tiga kali pelatihan. Mereka yakin, ke depannya para perempuan seperti mereka semakin percaya diri untuk bersuara dan terlibat dalam kelompok-kelompok sosial dan berpartisipasi dalam pembangunan desa.
FRT