Pentingnya Sosialisasi Peraturan Daerah No 3 Tahun 2018 tentang Badan Permusyawaratan Desa di Dairi

Peraturan Daerah No 3 Tahun 2018 tentang Badan Permusyawaratan Desa sudah ditetapkan di Sidikalang pada 4 Desember 2018. Perda ini berisikan 11 (Sebelas) Bab dan 68 (enam puluh delapan) pasal. Sebelumnya perda yang digunakan didairi tentang pedoman pembentukan badan permusyawarahan desa adalah Perda No 14 tahun 2006 namun ditimbang sudah tidak sesuai lagi dengan UU No 6 tahun 2014 tentang Desa.

Pengaturan BPD dalam peraturan Daerah ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap BPD sebagai lembaga di Desa yang melaksanakan fungsi pemerintahan Desa.

Pengaturan BPD bertujuan untuk :

  1. Mempertegas peran BPD dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
  2. Mendorong BPD agar mampu menampung menyalurkan aspirasi masyarakat Desa ; dan
  3. Mendorong BPD dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik di Desa.

Namun hampir dua tahun implementasi Perda ini, sangat disayangkan sosialisasi penerapannya masih dianggap belum maksimal.  Beberapa desa di Kabupaten Dairi  yang sudah melakukan pemilihan BPD menerapkan teknis dan system yang berbeda-beda. Bahkan dinilai, ada yang melanggar isi dari Perda No 3 tadi.  Kabid Pengelolaan Keuangan Desa Edison Silalahi dan Bagian Administrasi Umum  br Bancin menyampaikan beberapa aduan juga sudah diterima oleh DISPEMDES tentang pemilihan BPD yang dinilai tidak sesuai dengan Perda No 3 thn 2018. Mereka mengakui kurangnya sosialisasi Perda ini karena kurangnya anggaran. Sungguh disayangkan apabila BPD yang terpilih tidak bekerja sesuai harapan masyarakat, dimana BPD tidak lagi menyerap dan menampung aspirasi Masyarakat, melaksanakan pengawasan terhadap kinerja Kepala Desa serta melakukan 11 tugas lainnya sesuai dengan Pasal 31 Perda No 3 tahun 2018.

Pada 28/2/2020, Divisi Advokasi Yayasan Petrasa (Duat Sihombing – Boy Hutagalung) dan Wakil Ketua PPODA (Parlindungan Tambunan) melakukan diskusi dengan Dispemdes terkait Perda yang mengatur BPD tersebut. Duat Sihombing selaku Kepala Divisi Advokasi Petrasa menyampaikan, ada beberapa penafsiran yang berbeda tentang perda ini, baik dari pihak Kecamatan maupun dari Panitia pemilihan BPD. “Kita bisa bersinergi untuk mensosialisasikan perda no 3, jadi setidaknya tidak ada penafsiran yang melenceng soal peraturan daerah ini”, Pungkasnya. Parlindungan Tambunan juga menambahkan, bahwa teknis pemilihan BPD yang terjadi didesanya sedikit membingungkan. Ada beberapa pasal yang dilanggar dalam pemilihan BPD didesa mereka, namun pemilihan tetap dilanjutkan dan menghasilkan 5 orang BPD terpilih. “Hingga saat ini masyarakat didesa saya belum tau secara pasti teknis dari pemilihan BPD” , tuturnya.

Diskusi hari ini membuahkan hasil, Dispemdes bersedia memberikan sosialisasi kepada masyarakat terkusus dampingan Petrasa yang terdapat pada 78 desa yang tersebar pada 12 kecamatan dikabupaten Dairi. Rencana kegiatan akan dilakukan pada Maret 2020. Harapan Petrasa sebagai lembaga NGO pendamping masyarakat, agar peraturan yang dibuat oleh pemerintah betul-betul dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat.

 

 

 

AUDIENSI JAMSU DENGAN KEMENDES PDTT DAN KEMENKEU TERKAIT IMPLEMENTASI UU DESA NO. 6 TAHUN 2014

Selama kurang lebih empat tahun terakhir, penggunaan Dana Desa untuk pembangunan infrastruktur di desa-desa yang menjadi wilayah kerja JAMSU yakni KSPPM, BITRA, YAPIDI, PETRASA,  BAKUMSU, YDPK, PARPEM GBKP telah dilakukan. Banyak desa di Sumatera Utara secara fisik telah bersalin rupa. Pembangunan infrastruktur tampaknya telah memberi kesan kemajuan dan pemerataan sampai ke pelosok Sumatera Utara. Janji Nawacita kelihatannya sudah mewujud dan kebijakan pemberian Dana Desa pun sepertinya sudah membawa hasil yang diinginkan.

“Pembangunan Infrastuktur Tidak Cukup Mensejahterakan Petani (Sebuah refleksi dan evaluasi terhadap Implementasi Pembangunan di Pedesaan Sumatera Utara Paska Implementasi UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa)”

Pada 5 Desember 2019 lalu, JAMSU (Jaringan Masyarakat Sipil Sumatera Utara) melukan audiensi dengan Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi juga dengan Kementrian Keuangan. Audiensi ini bertujuan menyampaikan temuan-temuan riset JAMSU terkait Dampak Pembangunan Infrastruktur dengan kesejahteraan masyarakat. JAMSU juga melakukan riset harmonisasi UU Desa No. 6 tahun 2014 dengan 42 peraturan yang melemahkan atau tidak mendukung UU tersebut. Riset dilakukan di 20 Desa di 8 Kabupaten Sumatera Utara. Temuan riset yang dilakukan JAMSU di Sumatera Utara tidak memungkiri bahwa selama empat tahun terakhir ini, pembangunan infrastruktur di desa-desa yang diteliti mengalami perkembangan cukup signifikan. Jika sebelumnya, infrastruktur jalan, jembatan dan irigasi di desa mereka sangat minim dan buruk, saat ini sudah jauh lebih baik. Sudah ada jalan penghubung antar dusun, jalan menuju lahan pertanian dan juga irigasi untuk mengairi sawah. Meskipun dari desa yang diteliti (desa Rambai) bahwa baru tahun ini ada pembangunan infrastruktur jalan desa. Bahkan sejak Indonesia merdeka masyarakat baru menikmati hasil pembangunan jalan ke desanya.

Hal ini mengindikasikan bahwa potensi yang ditimbulkan pembangunan jalan desa, jalan usaha tani, jembatan dan irigasi di desa  yang dirasakan juga beragam, seperti :

  • Tersedianya jalan-jalan yang sampai ke pelosok berpotensi meningkatkan semangat untuk bertani dan membuka lahan. Sektor pertanian karenanya berpotensi untuk kembali menjadi sektor usaha yang menjanjikan. Dari data yang diberikan perangkat desa, produksi pertanian, seperti jagung dan tanaman holtikultura lainnya juga terus meningkat, walaupun masih sulit dibuktikan apakah peningkatan ini ada kaitan langsung dengan pembangunan infrastruktur.
  • Mudahnya akses ke lahan pertanian berpotensi membuat banyak petani melakukan diversifikasi produk pertaniannya. Jika sebelumnya hanya menanam jenis tanaman tertentu seperti padi dan jagung, sekarang sudah banyak yang mengembangkan jenis tanaman lain seperti jahe, bawang putih, bawang merah, sayuran dan tanaman buah lainnya.
  • Infrastruktur jalan, jembatan dan irigasi merupakan kebutuhan mendesak yang ditunggu-tunggu masyarakat selama ini. Karena sebelum ada dana desa, jalan-jalan antar dusun dan juga ke ladang/sawah sangat sulit dilewati (Desa Lintong Ni Huta) dan bahkan sejak Indonesia merdeka belum pernah tersentuh pembangunan infrastruktur (Desa Rambai)
  • Pembangunan infrastruktur juga berpotensi besar mendekatkan masyarakat ke pasar, arus distribusi menjadi lancar, belanja barang dan jasa saat ini sudah bisa dilakukan di desa, sehingga bisa memangkas biaya transportasi (desa Kuta Gerat, Desa Longkotan).
  • Pembangunan yang sama juga berpotensi mendorong bertambahnya jenis usaha baru, seperti perikanan, peternakan, dan usaha kelontong (toko kebutuhan rumah tangga)
  • Pembangunan infrastruktur juga berpotensi memperbaiki pola hubungan kekerabatan (mengikuti pesta adat di Karo), dan berkumpul bersama keluarga karena sudah memiliki waktu lebih banyak untuk tinggal di rumah (petani gambir di Bongkaras yang biasa tinggal di Hutan, sekarang sudah bisa pulang setiap hari).

 

 

Catatan penting : Persoalan-Persoalan yang  Belum Teratasi

  • Konsep “Desa Membangun” yang menjadi spirit implementasI UU Desa yang bermuara pada terwujudnya pemerataan kesejahteraan di nusantara ini, masih harus menjadi perhatian serius di masa yang akan datang. Pembangunan infrastuktur yang sudah berlangsung selama empat tahun ini, jika dikaitkan dengan pemerataan kesejahteraan masih sangat jauh dari harapan. Justru dari temuan JAMSU di Sumatera Utara, persoalan-persoalan kemiskinan masih melekat dengan kehidupan masyarakat di desa. Kesejahteraan masih hanya jargon yang tidak membumi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Peningkatan produksi pertanian dan pertumbuhan ekonomi di desa ternyata tidak mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat di desa. Kesejahteraan menurut sebagian besar penduduk di desa adalah kemampuan memenuhi kebutuhan dasar mereka, pangan, pendidikan, kesehatan dan perumahan. Manfaat pembangunan jalan desa, jalan usaha tani, jembatan dan irigasi yang ada selama ini hanya bisa dinikmati sekelompok orang tertentu saja. Banyak persoalan akut yang tidak atau belum teratasi di desa saat ini. Artinya berbagai dampak pembangunan dalam bentuk potensi yang sudah mulai dibayangkan seperti diuraikan di atas masih perlu diwujudkan menjadi kenyataan di lapangan.
  • Pertanian tidak hanya butuh jalan yang dibangun, tapi sangat memerlukan modal, lahan yang memadai, kemampuan teknis (kapasitas SDM); iklim yang mendukung; dan pasar yang adil. Uraian lebih detail terkait faktor-faktor ini bisa dilihat sebagai berikut:
  • Banyak petani hanya memiliki lahan di bawah 0.25 hektar atau menjadi buruh tani atau bahkan petani tak bertanah. Kasus petani tak bertanah iniditemukan di Kabupaten Toba Samosir. Sementara menjadi buruh tani banyak didapati di desa Tiang Layar. Infrastuktur yang sudah bagus tidak bisa mendongkrak produksi pertanian mereka, karena lahan tidak ada atau sangat terbatas. Sehingga yang bisa menikmati infrastruktur tersebut hanyalah raja-raja tanah atau penyewa tanah dari luar desa, sementara masyarakat hanya menjadi buruh bagi pemilik tanah.
  • Tanah adat masyarakat diklaim sepihak oleh negara sebagai Kawasan hutan. Hal ini ditemukan di desa-desa di Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Samosir, Kabupaten Dairi dan Kabupaten Deli Serdang. Sehingga akses kelola masyarakat terhadap wilayah adatnya yang diklaim sebagai Kawasan hutan tersebut sangat terbatas, bahkan rentan diambil oleh negara untuk kepentingan investasi. Pembangunan infrastruktur karenanya berpotensi meningkatkan akses negara dan pihak ketiga lainnya ke tanah-tanah adat.
  • Ketiadaan akses terhadap modal pertanian juga menjadi persoalan besar. Kesulitan permodalan membuat banyak petani tidak bisa membuka lahan baru. Akibatnya, lahan-lahan mereka disewakan pada pihak lain dari luar desa yang memiliki modal untuk mengusahai. Sehingga manfaat jalan usaha tani yang dibangun dari dana desa tersebut banyak dinikmati para penyewa lahan.
  • Kapasitas SDM petani masih terbatas untuk mengembangkan atau melakukan diversifikasi produk pertanian. Akibatnya banyak petani yang mengalami panennya tidak berhasil atau bahkan gagal panen karena kurangnya pengetahuan mereka khususnya dalam mengatasi ancaman dari hama pertanian dan juga perubahan iklim yang merubah pola dan sistem pertanian mereka.
  • Petani memiliki akses yang terbatas ke teknologi pertanian. Petani harus membayar mahal untuk mengolah lahan dengan traktor atau teknologi pertanian lainnya.
  • Hasil pertanian yang meningkat tidak selalu diiringi harga yang berpihak kepada petani. Modal yang terbatas, membuat banyak petani sangat tergantung kepada modal yang ditawarkan touke. Sehingga harga produk pertanian ditentukan oleh toke bukan oleh petani itu sendiri. Sehingga ada ketergantungan pada toke untuk menjual hasil pertaniannya.
  • Fasilitas jalan yang sudah bagus, menghubungkan antara desa, antara dusun dan juga langsung ke lahan pertanian di beberapa desa juga mempercepat laju kerusakan hutan. Hal ini ditemukan di Desa Bongkaras dan Desa Lintong Ni Huta Samosir. Tidak hanya mempercepat laju deforestasi, kehadiran truk-truk pengangkut kayu juga mempercepat rusaknya jalan-jalan di desa yang dibangun oleh dana desa. Akibat deforestasi yang terjadi, desa-desa tersebut juga menjadi rawan bencana lingkungan.
  • Jalan-jalan yang baru dibangun membuka akses bagi para toke yang bisa berhubungan langsung dengan petani secara inividual dengan dampak yang lebih menguntungkan toke ketimbang petani;
  • Jalan-jalan yang baru dibuka juga membuka akses bagi pedagang keliling dari luar desa (paralong-along) yang justeru meningkatkan konsumerisme yang tidak diimbangi dengan peningkatan ekonomi dan berdampak terhadap matinya usaha-usaha local yang selama ini tumbuh di desa
  • Semangat bertani yang tidak didukung modal yang memadai, serta meningkatnya konsumerisme, membuat masyarakat desa mudah terlilit hutang.
  • Pemberian dana desa yang terus meningkat tidak serta merta mewujudkan desa lebih sejahteImplementasi kebijakan lainnya harus juga menyentuh kebutuhan dasar di desa, seperti reforma agraria, pengembangan ekonomi kreatif, pemulihan lingkungan dan juga pemenuhan hak-hak dasar lainnya.

 

Rekomendasi

  • Pembangunan infrastruktur, jalan, jembatan, dan irigasi yang mendukung usaha-usaha pertanian tetap penting artinya. Namun infrastruktur saja tidak cukup, peningkatan produksi pertanian yang menjadi salah satu indikator peningkatan kesejahteraan, juga sangat ditentukan oleh banyak faktor mendasar lainnya, seperti pasar yang adil, peningkatan kapasitas SDM Petani, ukuran lahan, iklim yang tidak menentu, bencana lingkungan yang terus meningkat, dan biaya produksi pertanian yang harganya semakin Oleh karena itu, di masa yang akan datang alokasi anggaran Dana Desa perlu menyasar persoalan pasar, pengembangan unit usaha kreatif di desa dan juga peningkatan kapasitas SDM petani.
  • Pemerintah harus serius mewujudkan reforma agraria khususunya bagi desa-desa yang rata-rata kepemilikan tanahnya di bawah lima rante, dan yang masih berada di Kawasan Hutan, seperti di Daerah Tapanuli, Dairi dan Karo.
  • Pemberian Dana Desa tidak serta merta mewujudkan kesejahteraan dan menyelesaikan persoalan pemenuhan hak ekosob dan hak sipol di desa. Kebijakan-kebijakan pembangunan lainnya harus juga berpihak kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat di desa. Kebijakan reforma agraria menjadi aspek yang sangat penting melihat masih banyak petani yang tidak memiliki lahan (lahan sempit) dan juga berada di Kawasan hutan.
  • Pembangun di desa harus benar-benar memperhatikan aspek keberlanjutan dan keadilan bagi kelompok rentan (masyarakat miskin, masyarakat adat, perempuan, disabilitas, perempuan, anak dan lansia); dan tidak semata-mata berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.

 

*b0h*

LOWONGAN KERJA

Yayasan Petrasa adalah lembaga non-pemerintah yang bergerak dalam pengembangan ekonomi dan pertanian organik di Kabupaten Dairi. Petrasa mendampingi lebih dari 5.000 petani di 12 kecamatan di Dairi.

Saat ini, Yayasan Petrasa membuka lowongan kerja untuk posisi Staf Pertanian. Informasi selengkapnya tertera pada poster berikut.

Kirim berkas lamaranmu paling lambat Jumat, 20 Desember 2019.

Informasi lebih lengkap silakan hubungi kami melalui pesan di Facebook Page Yayasan Petrasa atau telepon di 0627-21882.

Salam organik!

Unit PAMOR Pangula Dairi Serahkan Sertifikat PAMOR kepada 17 Petani Organik

Sepanjang Agustus hingga September 2019, petani dan staf Yayasan Petrasa telah melakukan inspeksi ke lima belas kelompok. Kelompok ini tersebar di beberapa kecamatan dan desa di Kabupaten Dairi dengan komoditas yang berbeda pula. Total ada 24 petani dari tiga komoditas yang telah mendaftar dan mengikuti inspeksi.
Berdasarkan inspeksi tersebut, Komite Persetujuan yang bertugas untuk menentukan lolos atau tidaknya petani dan produk organik yang telah diinspeksi menyatakan ada 17 petani dari 13 kelompok yang lolos mendapatkan sertifikat.

Sejak dibentuk 2018 lalu, Unit PAMOR Pangula Dairi, organisasi yang menaungi Penjaminan Mutu Organik (PAMOR) di Dairi akhirnya menerbitkan dan memberikan sertifikat PAMOR kepada 17 petani organik dampingan Petrasa. Pemberian sertifikat dilaksanakan pada Kamis pagi, 28 November 2019 di Kantor Yayasan Petrasa. Sertifikat ini diberikan kepada petani organik yang berhasil lolos inspeksi dan mengikuti standar kontrol sistem pertanian organik UPPD.

Tujuh belas petani tersebut antara lain Koster Tarihoran dari Kelompok Judika, Mesta Capah dari Kelompok Tornatio, Enor Sinaga dari
Kelompok Ulanadenggan, dan Meihanto Manik dari Kelompok Raptaruli. Keempatnya menghasilkan kopi arabika organik.
Dari komoditas sayuran terdapat 12 petani antara lain Juniar Pardede dari Kelompok Setia Kawan, Normal Pakpahan dari Kelompok Eben Ezer, Santi Sihombing dan Rusmina Sinambela dari Kelompok Sumber Jaya, Rosmani Purba dari Kelompok Membangun, Juita Sinaga dari Kelompok Dedikasi, Susi Bako
dan Sonti Rajagukguk dari Kelompok Agave, Rut Sinaga dari Kelompok Marsihaposan, Thiodora Situmorang dan Ria Bantu Samosir dari Kelompok Hasadaon, dan Risma Manik dari KPO 1. Sementara dari komoditas padi hanya satu petani yakni Efendi Situmorang dari Kelompok Setia Kawan.

Sertifikat PAMOR ini sendiri adalah sertifikat yang menjamin produk-produk organik yang diproduksi petani organik dengan komoditas sayuran, kopi, dan padi organik. Label PAMOR yang tertera pada setiap kemasan produk organik mengindikasikan keorganikan produk tersebut. Melalui sertifikat PAMOR ini pula, UPPD berharap petani organik semakin berkomitmen untuk mempertahankan kualitas produk organiknya. Petrasa juga berharap supaya petani organik tetap semangat dan berkelanjutan dalam bertani selaras alam.

Salam organik!

Petani Padi Organik Petrasa Orientasi Belajar ke Petani Padi Organik BITRA

Pertanian organik memiliki keunikan sendiri tergantung daerahnya. Setiap keunikan membawa pengetahuan dan pengalaman berbeda di satu tempat dan tempat lain sekalipun membudidayakan komoditas yang sama. Untuk itu, petani organik Petrasa pada Jumat 22 November lalu berkunjung ke perkumpulan petani organik Bitra di Desa Tanah Merah, Kec. Perbaungan, Kab. Serdang Bedagai. Kunjungan dan orientasi belajar ini diikuti oleh lima orang petani Petrasa,  empat orang petani Bitra dan PPL, satu orang staf Bitra, tiga orang staf Petrasa, dan narasumber dari pihak PPL.

Dalam kesempatan ini, petani padi dampingan Petrasa mendapat kesempatan untuk belajar dan bertukar pengalaman dalam budidaya padi organik mulai dari persemaian, cara tanam, pengendalian hama dan penyakit, hingga penanganan pasca-panen. Petani mendapat banyak kesamaan dan menemukan perbedaan teknik budidaya yang mereka lakukan dengan teknik budidaya petani Bitra. Salah satu perbedaannya adalah petani Bitra menanam satu benih ke satu lobang tanam, sementara petani Petrasa menanam lebih dari satu benih ke lobang tanam.

Perbedaan lainnya adalah petani Bitra tidak membuat alas penampung sabitan padi, sementara Petrasa membuat alas penampung untuk menjaga bulir padi tidak terbuang. Dari pertemuan ini, Petrasa berencana menerapkan upaya pengendalian HPT yang dilakukan petani Bitra yakni menanam berbagai jenis bunga khususnya bunga matahari di sekitar sawah untuk menghindarkan hama dan penyakit. Petrasa juga berencana untuk mencoba menanam beras varietas hitam yang selama ini belum pernah dicoba.

Petani dampingan Petrasa mengaku mendapat banyak manfaat dan pengalaman baru dengan berbincang dengan sesama petani organik dari Bitra. Ke depannya mereka akan menerapkan beberapa hal yang mereka anggap menjadi solusi baru bagi budidaya padi organik di Dairi.

 

Wabah Penyakit Ternak Babi Merebak di Dairi, Peternak Merugi

Sejak awal September 2019 lalu, ternak babi di Dairi terserang virus penyakit yang mematikan. Berdasarkan berita yang kami lansir dari Tagar.id, dari 15 kecamatan yang ada di Dairi, virus ini telah menjangkit ternak babi di 11 kecamatan. Jumlah ternak babi yang mati di Dairi saat ini pun sudah mencapai 700 ekor.

Untuk menyikapi kejadian ini, Yayasan Petrasa sejak awal September pun meningkatkan intensitas program vaksinasi ternak babi ke berbagai desa dampingan. Hal ini dilakukan sesuai dengan laporan dan keluhan peternak dampingan Petrasa. Mereka resah karena ternak babi mereka banyak yang terjangkit dan mati mendadak.

Program vaksinasi gencar dilakukan di Kecamatan Lae Parira, Kecamatan Siempat Nempu, Kecamatan Silima Pungga-Pungga, Kecamatan Sumbul, dan Kecamatan Siempat Nempu Hulu. Staf Peternakan Petrasa tidak bekerja sendiri. Dengan bantuan tenaga dari para kader peternakan dampingan Petrasa, program vaksinasi ini dapat dilakukan.

Selain vaksinasi, Petrasa menganjurkan peternak untuk melakukan pencegahan alami (biosecurity) dengan cara menjaga kebersihan kandang dan membuat pengasapan di sekitar kandang.

Setidaknya ada 300 ekor ternak babi milik peternak dampingan Petrasa yang mati akibat penyakit ini. Para peternak merugi besar. Salah seorang peternak di Kecamatan Lae Parira mengaku telah kehilangan 12 ekor ternak babi akibat penyakit ini dalam waktu dua minggu.

Gejala yang terlihat pada babi yang terjangkit adalah lumpuh, nafsu makan berkurang, badan panas, memerah, dan keluar darah dari hidung. Beberapa waktu yang lalu, Dinas Pertanian melalui Bidang Peternakan memberikan keterangan bahwa jenis penyakit yang menyerang ternak babi tersebut adalah virus African Swife Fever (ASF). Virusnya kini semakin mewabah ke daerah-daerah lain di Sumatera Utara.

Menanggulangi hal ini, Dinas Pertanian Bidang Peternakan Kabupaten Dairi telah membuat unit bantuan yang mengumpulkan dan menguburkan bangkai ternak babi milik warga. Inisiatif ini lahir dari banyaknya ternak babi yang dibuang ke sungai dan ke jurang pinggir jalan oleh warga. Masyarakat terus dihimbau untuk tidak membuang bangkai babi sembarangan.

Sampai saat ini pun Petrasa terus membangun koordinasi dengan Dinas Pertanian dan Peternakan Dairi dan dokter hewan. Dibutuhkan kerjasama dari semua pihak untuk mengatasi masalah ini agar tidak semakin berkepanjangan. Kita semua berharap segera ada cara efektif untuk menghentikan wabah penyakit ini.

AUDIENSI PPODA KE DINAS PERTANIAN KABUPATEN DAIRI

Perhimpunan Petani Organik Dairi (PPODA) yang menjadi payung para petani organiK dampingan Petrasa pada Rabu, 7 Agustus 2019 kemarin audiensi ke Dinas Pertanian Kabupaten Dairi. Sebelas orang pengurus PPODA bersama dengan Divisi Advokasi Petrasa diterima langsung oleh Kepala Dinas Pertanian Kab. Dairi, Herlinda Tobing. Audiensi ini juga dihadiri oleh Kepala Bidang Peternakan, Kepala Bidang Distribusi Pupuk, Kepala Bidang Penyuluhan, dan Kepala Bidang Perkebunan.

Pertemuan kemarin merupakan audiensi pertama antara PPODA dengan Dinas Kabupaten Dairi. Audiensi ini bertujuan untuk meningkatkan sinergi kerja sama dalam upaya meningkatkan pertanian di Kabupaten Dairi khususnya dengan anggota PPODA. Dalam hal ini Pitter Simamora selaku Ketua PPODA pun menyampaikan harapan untuk memiliki kerja sama yang baik dalam akses informasi program pertanian maupun bantuan pertanian kepada petani dari Dinas Pertanian Dairi.

Sejurus dengan tujuan itu, PPODA pun menyampaikan beberapa pertanyaan untuk memperdalam informasi program Kartu Tani yang baru saja diumumkan oleh pemerintah Dairi. Tambunan yang merupakan Wakil Ketua PPODA meminta informasi terkini mengenai tujuan dan pelaksanaan teknis kartu tani. Pertanyaan ini berangkat dari kondisi terkini para petani dalam PPODA yang belum mendapat akses informasi lengkap terkait program ini yang sedang hangat dibicarakan.

Berdasarkan audiensi tersebut, Kartu Tani merupakan sebuah kartu yang dimiliki oleh petani terdaftar untuk memudahkan proses mendapatkan pupuk bersubsidi. Kepala Dinas Kabupaten Dairi menyampaikan bahwa pada tahun ini, Dinas Pertanian mengadakan uji coba di 9 desa di Kecamatan Sidikalang. Saat ini semuanya sedang dalam proses pendaftaran dan akan mulai beroperasi pada tahun 2020 mendatang.

Kepala Bidang Distribusi Pupuk juga menuturkan, “Kartu tani ini isinya kuota pupuk bersubsidi. Selama ini ada banyak kesimpangsiuran bahwa kartu tani ini berisi uang dari pemerintah. Sebetulnya tidak, kartu ini berisi kuota dan informasi pupuk bersubsidi yang bisa dibeli oleh petani nantinya.”

Kartu tani ini juga berupa rekening tabungan yang memungkinkan petani menabung uangnya di sana.

Petani bisa mendapatkan Kartu Tani bila bergabung dalam Kelompok Tani di desa masing-masing. Adapun setiap desa maksimal memiliki 16 kelompok tani dengan hamparan lahan yang berdekatan. Tidak ada batasan jumlah anggota dalam sebuah kelompok tani. Setelah bergabung, petani yang ingin mendapatkan Kartu Tani akan dibantu oleh Petugas Pendamping Lapangan (PPL) untuk mengisi formulir pengajuan dan mengurus kartu tersebut ke BNI Sidikalang. Dinas Pertanian Dairi memohon bantuan kepada PPODA untuk menyebarkan informasi Kartu Tani ini kepada para petani PPODA di berbagai desa.

Sebelum menutup diskusi tersebut, PPODA juga menerima obat-obatan ternak, vaksin, vitamin ternak, dan berbagai kebutuhan ternak lainnya dari Dinas Pertanian Dairi. Obat-obatan ini akan digunakan untuk ternak peternak dampingan Petrasa yang juga merupakan bagian dari PPODA.

Diskusi selama empat jam tersebut ditutup dengan foto bersama. Baik PPODA dan Dinas Pertanian berharap, audiensi ini bisa konsisten dilakukan untuk menjaga sinergitas program pertanian antara pembuat program dan petani yang bekerja langsung untuk pertanian Dairi yang berkelanjutan.

 

*FRT

MENGURANGI PERUBAHAN IKLIM DENGAN BUDIDAYA KOPI SELARAS ALAM

Kopi merupakan komoditas kedua yang paling banyak dikonsumsi oleh manusia di dunia. Kopi hanya berada satu peringkat di bawah minyak bumi. Berbanding lurus dengan tingkat konsumsinya, kopi juga memiliki permintaan pasar yang tinggi di dunia. Oleh karena itu, negara-negara penghasil kopi di dunia terus mengupayakan produksi kopi.

Seluruh pihak yang berada dalam rantai pasar kopi di seluruh dunia saat ini mulai waspada dengan dampak perubahan iklim. Menurut World Coffee Research, perubahan iklim yang semakin cepat akan berdampak pada kepunahan kopi di dunia pada tahun 2080. Pada tahun 2050, kopi mulai menjadi langka dan harganya akan semakin tinggi. Diprediksi, minum kopi akan menjadi barang mewah yang tidak bisa lagi dinikmati semua kalangan masyarakat.

Berangkat dari situasi ini, Yayasan Petrasa yang bekerja sama dengan International Islamic Trade Finance Corporation (ITFC) mengadakan diskusi kopi dan perubahan iklim pada Selasa, 25 Juni 2019. Bertempat di Aula Hotel Dairi, Sidikalang, diskusi ini dihadiri oleh 98 petani kopi dari berbagai desa di Kabupaten Dairi. Diskusi yang merupakan bagian dari Coffee Farmers Field Training Program (CFFTP) ini merupakan agenda penting untuk menggaungkan masalah perubahan iklim kepada para petani kopi Dairi.

Perubahan iklim merupakan masalah global. Untuk itu, Yayasan Petrasa berinisiatif mengundang Wakil Bupati Kabupaten Dairi, Jimmy Sihombing,  untuk memberikan sambutan dan pengantar diskusi ini. Dalam sambutannya, ia mengimbau para petani yang hadir untuk bergiat dalam budidaya kopi sebagai upaya untuk melestarikan lingkungan. Ia meyakini perubahan iklim ini akan semakin terasa di Dairi pada masa selanjutnya. Dampaknya akan terasa pada komoditas pertanian termasuk kopi yang menjadi mata pencaharian sekaligus kebanggaan masyarakat Dairi. Dalam kesempatan yang singkat itu, Bapak Jimmy SIhombing juga mengapresiasi Petrasa dan ITFC yang telah memfasilitasi diksusi ini kepada petani.

Dipandu oleh Ridwan Samosir sebagai moderator, diskusi berlangsung dengan semarak selama dua setengah jam. Diskusi ini semakin kaya dengan pemaparan pandangan tiga narasumber yakni Lidia Naibaho dari Yayasan Petrasa, Ibu br. Tobing sebagai Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Dairi, dan Ibu br. Sinaga mewakili Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Dairi. Mereka mempresentasikan dampak perubahan iklim kepada kopi dari sisi sosial-ekonomi, lingkungan, hingga pertanian. Ketiga narasumber ini menekankan, budidaya kopi dengan pertanian selaras alam adalah solusi konkret yang dapat dilakukan oleh petani untuk mengurangi dampak perubahan iklim.

Pertanian selaras alam yang dimaksud adalah menanam kopi dengan sistem agroforestry dan organik.  Agroforestri atau wanatani adalah sistem penggunaan lahan (usahatani) yang mengkombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian untuk meningkatkan keuntungan, baik secara ekonomis maupun lingkungan. Sementara organik maksudnya adalah tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia dalam budidayanya.

Kedua hal ini dapat benar-benar dilakukan oleh petani sejak dini. Sebagai daerah potensial kopi, baik robusta maupun arabika, petani dianggap mampu menerapkan ini sebagai langkah konkret mengurangi dampak perubahan iklim. Sistem agroforestri tidak hanya mengoptimalisasi produksi pertanian, tapi juga turut melestarikan alam. Sejalan dengan pertanian organik, tidak menggunakan bahan-bahan pertanian kimia dan beralih menggunakan bahan-bahan alam juga dalam upaya melestarikan lingkungan.

Beragam pertanyaan dari petani pada ketiga narasumber menunjukkan antusiasme yang tinggi. Isu perubahan iklim dan dampaknya terhadap pertanian mereka merupakan hal yang baru bagi sebagian besar petani. Pertanyaan mereka sebagian besar mempersoalkan teknik budidaya yang mereka lakukan selama ini. Sebagian besar para petani mengaku belum maksimal untuk meningkatkan produksi kopi sekaligus melestarikan alam.

Diskusi kopi dan perubahan iklim yang didukung oleh ITFC merupakan sebuah langkah awal agar petani mulai sadar akan dampak perubahan iklim pada kopi yang menjadi mata pencaharian mereka sehari-hari. Dengan meningkatkan kesadaran petani, Petrasa dan ITFC mampu mendorong para petani untuk sungguh-sungguh memperbaiki lahan kopi mereka dengan sistem selaras alam melalui program CFFTP.

 

FRT

 

Perhatikan Remaja SMA, Petrasa Adakan Penyuluhan Bahaya Narkoba dan HIV/AIDS

 “We can’t end AIDS until we don’t end DRUG wars.”

Slogan ini menjadi pegangan Petrasa saat mengadakan acara Penyuluhan Bahaya Narkoba dan HIV/AIDS kepada 32 remaja SMA di Sidikalang. Pada Jumat 22 Maret lalu, para pelajar SMA yang datang mewakili 11 SMA di Kota Sidikalang hadir untuk mengikuti penyuluhan bahaya narkoba dan HIV/AIDS di Kantor Yayasan Petrasa.

Dengan antusias mereka mengikuti dua sesi penyuluhan. Sesi pertama adalah penyuluhan tentang bahaya narkoba yang dijelaskan oleh Torang P. Sirait/Ipda  dari Kepala Unit Satuan Narkoba Polres Dairi. Dalam sesi tersebut, ia menjelaskan jenis-jenis narkoba, efek negatif yang ditimbulkan narkoba, hingga undang-undang yang mengatur hukuman pada pengguna dan pengedar narkoba di Indonesia. Usai pemaparan, para siswa semangat bertanya seputar bahaya narkoba kepada narasumber tersebut.

Salah satu peserta dari SMK Arina, Rianti Sinaga pada kesempatan tanya jawab bertanya, “Apakah hukuman yang berlaku sesuai undang-undang juga sama pada anak-anak?”

Bapak Ipda Torang Sirait yang menjadi narasumber inti pada sesi ini menjelaskan adanya dua kemungkinan bila yang menjadi pengguna adalah anak-anak. Pertama, bila anak-anak tersebut tertangkap tangan oleh polisi, maka anak tersebut akan dihukum dengan penyesuaian peradilan anak. Sedangkan bila anak atau keluarga anak tersebut menyerahkan anak yang menggunakan narkoba, maka si anak akan dibawa untuk rehabilitasi ke panti rehabilitasi narkoba.

Sebelum masuk ke sesi penyuluhan HIV/AIDS, para siswa diajak berbagi opini atas kekhawatiran mereka tentang narkoba dan HIV/AIDS serta apa yang menjadi harapan mereka. Dalam dua lembar kertas warna-warni mereka bergantian membacakan opini mereka. Salah satunya adalah  Netti Situmorang dari SMK N 1 Sitinjo yang menuliskan,”Saya khawatir anak muda sulit diberitahu tentang bahaya narkoba dan HIV/AIDS. Mereka lebih mudah percaya pada apa yang dikatakan pergaulan mereka yang kurang baik daripada bahaya yang sebenarnya.”

Meski begitu, mereka juga optimis, setelah mengikuti pelatihan ini mereka menjadi paham bahaya narkoba dan mau berbagi ilmu ini kepada teman mereka. Sabas Naibaho, siswa dari SMA St. Petrus mengungkapkan harapannya, “Semoga semakin banyak anak muda yang sadar akan dampak negatif narkoba dan bergabung dalam kegiatan-kegiatan kepemudaan yang sifatnya positif.”

Pada sesi pemaparan bahaya HIV/AIDS, dr. Edison Damanik yang merupakan Kepala Bagian Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi menjelaskan bagaimana HIV menyebar kepada manusia dan berubah menjadi penyakit AIDS. Ia menjelaskan, selama seseorang terjangkit virus HIV tapi menjaga kesehatan dan ketahanan tubuhnya, orang tersebut bisa hidup normal. Mereka yang mengidap penyakit AIDS adalah orang-orang yang tidak bisa bertahan dari serangan virus HIV.

Para siswa mengaku informasi ini sangat baru bagi mereka. Mereka selama ini berpikir bahwa mereka yang mengidap penyakit HIV otomatis akan mengidap AIDS. Diskusi antara narasumber dan para siswa juga berlangsung dengan cair. Para siswa banyak bertanya untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang penyakit ini.

Kedua narasumber, Torang Sirait dan dr. Edison Damanik mengapresiasi kegiatan ini. Mereka berharap lebih banyak kegiatan-kegiatan penyuluhan kesehatan yang penting untuk remaja ketahui. Memerangi narkoba dan HIV/AIDS adalah tanggung jawab kita semua. Petrasa meyakini, memberi pemahaman yang mendalam tentang bahaya dua hal ini bagi remaja adalah salah satu cara untuk memeranginya sekaligus menjaga kualitas generasi muda kita. Sebelum menutup acara, Lidia Naibaho, Sekretaris Eksekutif Petrasa mengajak para siswa untuk menjauhi narkoba,menjadi siswa yang berprestasi, dan aktif dalam aksi peduli lingkungan.

Duat Sihombing, Kepala Divisi Advokasi yang membidangi penyuluhan ini, bersama dengan staf Divisi Advokasi Petrasa membagikan botol minuman kepada semua siswa yang telah mengikuti penyuluhan. “Kita harus sama-sama melestarikan lingkungan. Botol minum ini harus kalian pakai untuk mengurangi botol plastik minuman sehari-hari,” ajaknya sebelum kegiatan penyuluhan resmi ditutup dengan foto bersama sambil mengacungkan botol minuman baru.  Ke depannya, Petrasa berharap para remaja ini bisa menjadi generasi yang positif dan peduli dengan kesehatan dan lingkungan.

Belajar Kopi Konservasi, Lestarikan Alam, Sejahterakan Petani

Salah satu kegiatan yang diberikan Yayasan Petrasa untuk meningkatkan kapasitas para staff dan petani dampingan adalah melalui orientasi ke sebuah tempat yang sesuai dan sejalan dengan nilai-nilai Petrasa. Dengan dukungan dari International Trade Finance Corporation atau ITFC, Petrasa mengirim  dua orang staf pertanian dan dua orang petani arabika belajar ke PT. Kopi Malabar Indonesia di Pengalengan Bandung. Keberangkatan ini diiringi harapan agar staff dan petani mendapat pengetahuan lebih dalam tentang kopi arabika mulai dari hulu sampai hilir.

Selama tiga hari sejak 28 Januari hingga 30 Januari 2019, dua orang staff yakni Lina Silaban dan Jetun Tampubolon bersama dengan dua orang petani yakni Mesta Capah dan Jhonson Sinaga mengikuti pelatihan kopi arabika secara intensif. PT. Kopi Malabar Indonesia merupakan tempat yang bagus untuk belajar secara mendalam tentang kopi arabika karena mereka fokus pada budidaya kopi konservasi.

Kopi Malabar membudidayakan kopi dengan tetap memperhatikan dampak terhadap lingkungan, tetap menjaga kelestarian alam dan untuk konservasi hutan. Selain itu, Kopi Malabar sebagai usaha tetap memperhatikan kesejahteraan petani dan juga masyarakat sekitar. Konsep yang mereka bangun sangat baik. Tidak hanya memberi dampak kepada petani tapi juga tergabung membangun masyarakat di sekitar mereka yang juga bagian dari kelompok tani mereka.

Berangkat dari konsep tersebut. Kedua staf dan kedua petani kopi dampingan Petrasa ini pun memulai pengalaman baru mereka.

 

Gali Ilmu Budidaya dan Pasca-Panen Kopi Malabar

Kami tiba di Pengalengan pada tanggal 28 Januari 2019 dan langsung mengikuti pelatihan. Hal pertama yang kami lakukan adalah mengunjungi lapangan untuk melihat budidaya kopi yang dilakukan Kopi Malabar. Kami dibimbing langsung oleh Pak Yusuf Daryono.

Kebun yang mereka kelola adalah area hutan. Mereka bekerjasama dengan pemerintah daerah untuk mengembalikan kondisi hutan yang sudah sempat gundul. Area hutan di Kampung Pasirmulya ini sudah sempat digarap oleh warga untuk dijadikan lahan berkebun sayur sehingga banyak pohon yang ditebang. Oleh karena itu pemerintah kemudian memberikan kesempatan kepada mereka untuk tetap mengelola  area hutan tapi dilarang untuk menebang pohon yang ada. Dengan kondisi tersebut maka Hj. Adinuri sebagai pemilik Kopi Malabar saat itu mengambil kesempatan dan memilih menanam kopi.

Di sini kami belajar bagaimana budidaya kopi dapat menjadi salah satu solusi untuk konservasi lahan. Mengingat habitat tanaman kopi sejatinya berada di hutan, sehingga tanaman ini cocok sebagai tanaman konservasi yang sekaligus menjadi sumber penghasilan.

Varietas kopi yang dibudidayakan di Kopi Malabar didominasi oleh Sigarar Utang dan sudah mendapatkan sertifikasi untuk menjadi sumber bibit. Selain Sigarar Utang masih ada varietas lain termasuk Yellow Catimor yang sedang dikembangkan. Pohon pelindung yang digunakan pun beraneka ragam sesuai dengan jenis pohon yang sudah ada di areal tersebut. Pohon yang paling banyak adalah eucaliptus, pinus dan pohon surian. Kopi mereka yang tumbuh subur dan terawat dengan baik mematahkan praduga selama ini bahwa tanaman kopi tidak dapat berdampingan dengan pohon eucaliptus. Justru di tempat ini, kopi dapat tetap tumbuh subur dengan pohon pelindung eucaliptus.

Pada hari kedua dengan bimbingan Pak Budi, kami belajar cara pasca-panen kopi arabika mulai dari hulu hingga hilir.

“Di hulu kami belajar mulai dari cara petik kopi yang benar hingga proses sortir green bean. Kami juga belajar berbagai macam proses pasca-panen kopi yaitu natural proses, honey proses, wethul proses dan dryhul proses. Semua proses ini akan menghasilkan cita rasa yang berbeda pada kopi setelah diseduh,” jelas Mesta Capah, petani yang mengikuti pelatihan ini.

Setelah itu kami mempelajari cara menyangrai kopi. Kepada kami dijelaskan berbagai hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan sangrai. Beberapa yang penting diantaranya kondisi bahan baku, suhu mesin, kekuatan api hingga waktu sangrai. Kami menyangrai green bean yang kami bawa dari Sidikalang dan mendapat penilaian dan pujian yang bagus dari pihak Kopi Malabar.

Pada hari ketiga kami ikut menyeduh kopi arabika dengan teknik manual brewing. Kami belajar cara menggunakan alat seduh, suhu air yang pas untuk menyeduh dan waktu untuk menyeduh.

Mereka juga belajar teknik dasar cupping untuk mengetahui ciri khas kopi kita masing-masing. “Kami juga belajar teknik dasar melakukan cupping. Cupping atau sering disebut juga test cup sangat penting untuk dipelajari karena penting untuk menentukan harga yang tepat untuk kopi kita berdasarkan cita rasa kopi yang didapat,” ungkap Jhonson Sinaga, petani yang juga tertarik dengan proses pasca-panen kopi.

Bukan itu saja, kami pun mendapat penjelasan tentang kelembagaan petani dan pemasaran kopi. Seperti halnya Petrasa berperan membantu pemasaran kopi d’Pinagar, Kopi Malabar juga memiliki konsep yang kurang lebih sama. Pemasaran kopi yang dilakukan harus dengan konsep yang adil dan tidak merugikan petani. Dengan demikian, maka konsep-konsep yang kita terapkan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan petani.

 

Nilai Tersembunyi dari Kopi Konservasi

Dari 3 hari pelatihan yang kami ikuti ini, kami belajar bagaimana sebenarnya konsep kopi konservasi yaitu konsep budidaya kopi dengan mengutamakan pelestarian alam. Membudidayakan kopi bukan hanya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi saja, tetapi juga keuntungan untuk tetap menjaga lingkungan. Mengaplikasikan konsep budidaya kopi konservasi adalah salah satu bentuk kepedulian kita terhadap apa yang petani produksi dan apa yang kita konsumsi.

“Kita berharap petani menghasilkan produk tanpa merusak lingkungan. Hal ini sebenarnya secara tidak langsung sudah dilakukan oleh Yayasan Petrasa bersama dengan petani kopi dampingan, dengan menyarankan kepada petani untuk membudidayakan kopi secara organik dan menggunakan pohon pelindung. Yang menjadi kendala adalah petani masih kurang percaya produksi kopi meningkat dengan sistem ini,” terang Jetun Tampubolon, Kepala Divisi Pertanian Petrasa yang ikut orientasi.

Dengan mengaplikasikan konsep kopi konservasi, kita sudah mengambil sebuah aksi penyelamatan bumi yaitu menjaga dan menyuplai oksigen dengan menenam pohon pelindung yang hidup berdampingan dengan kopi. Sejatinya, petani sudah berkontribusi menambah jumlah tegakan pohon untuk membantu hutan tetap ada ketika jumlah hutan yang dirambah semakin meningkat. Selain untuk melestarikan alam, konsep ini juga membantu produksi kopi semakin menigkat, karna perubahan iklim yang ekstrim saat ini sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kopi. Dengan dibantu oleh pohon pelindung maka kita menciptakan lingkungan yang sesuai dan baik untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman kopi.

Selain pohon pelindung, tanaman kopi ini pun sebenarnya sudah memberikan sumbangsih untuk pelestarian alam. Tanaman kopi memiliki sistem morfologi yang bersahabat dengan tanah dan air. Kopi memiliki perakaran yang kuat dan membentuk anyaman ke segala arah sehingga dapat melindungi dan memegang tanah dari bahaya erosi. Tentu karena kopi juga memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi.

 

Menangani Kopi di Hilir

Selain mempelajari sistem budidaya kopi dengan konsep konservasi, kami juga mempelajari bagaimana sistem pemasaran dan penanganan hilir yang dibangun oleh Kopi Malabar. Disini mereka membangun sistem penampungan dengan satu pintu. Petani menjual langsung kopi mereka ke Kopi Malabar dan selalu dengan harga yang lebih tinggi dari pasar. Hal ini karena kopi yang mereka terima sesuai dengan standar yang mereka berikan. Kopi yang diterima oleh Kopi Malabar masih dalam bentuk gelondongan (cherry ), karna kopi – kopi ini akan diproses dengan bermacam-macam cara dan sesuai permintaan pembeli.

Kopi yang dijual kemudian ada dalam bentuk greenbean dan kebanyakan dalam bentuk roasted bean. Hal ini dikarenakan keuntungan yang paling besar dalam pemasaran kopi adalah jika kita sampai pada proses hilir. Harga yang diberikan pada kopi bisa naik hingga 10 kali lipat dibandingkan hanya dipasarkan dari proses hulu.

Jika kita memasarkan hingga proses hilir maka keuntungan yang didapat akan lebih besar. Keuntungan yang didapat oleh Kopi Malabar, 5% akan dikembalikan ke petani dan 5% digunakan untuk membantu membangun fasilitas untuk  masyarakat di sekitar lingkungan mereka.

Dengan konsep ini maka petani akan selalu diuntungkan dan tetap menjalin kerjasama dengan mereka dibandingkan dengan menjual ke tengkulak. Kami belajar lebih dalam lagi bagaimana menghargai petani yang menanam dan merawat kopi bertahun-tahun. Gerakan Kopi Malabar ini memang sudah jauh jika dibandingkan dengan petani kopi di Dairi yang masih terikat dengan tengkulak dan belum memiliki posisi tawar terhadap kopi mereka sendiri. Hal ini menjadi tugas bagi staff Petrasa untuk membuka pasar lebih luas untuk petani kopi arabika di Dairi.

Melalui pelatihan dan pengalaman ini diharapkan staff yang mengikuti pelatihan dapat menularkan dan mendampingi petani kopi arabika di Dairi dengan semangat dan mulai membangun sistem kopi konservasi. Sementara itu, bagi petani yang menjadi peserta dapat langsung mengaplikasikannya ke lahan masing-masing. Petrasa berharap petani Dairi semakin meningkat kapasitasnya dalam budidaya kopi arabika. Budidaya kopi yang benar akan menghasilkan kopi yang berkualitas dan juga meningkatkan kuantitas.

 

Penulis :Lina Silaban

Editor : Febriana Tambunan