Kontributor: Nimrot Munthe – Divisi Advokasi
Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014 dianggap sebagai langkah visioner dalam mengubah arah pembangunan nasional. Dengan semangat “Membangun Indonesia dari Pinggiran”, desa diberikan ruang untuk mengelola potensi secara mandiri dan melibatkan partisipasi warganya dalam pembangunan. Namun, satu dekade sejak diundangkan, tantangan demi tantangan masih menyelimuti implementasinya.
Dalam Workshop Revisi Undang-Undang Desa yang digelar PETRASA dan dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat desa, mulai dari kepala desa, BPD, petani, pendamping desa, hingga kelompok perempuan dan disabilitas, dibahas berbagai aspek dari revisi UU Desa yang kini menjadi UU No. 3 Tahun 2024.
Mimpi Desa Sejahtera: Antara Potensi dan Realita
Revisi UU Desa menambahkan masa jabatan kepala desa dari 6 menjadi 8 tahun. Alasannya, waktu enam tahun dinilai belum cukup untuk menyelesaikan pembangunan karena kepala desa masih harus beradaptasi dengan dinamika politik pasca pemilihan. Namun, kebijakan ini juga menuai kritik. Menurut narasumber workshop, Eko Cahyono, proses revisi ini terkesan politis dan terburu-buru tanpa urgensi nyata dari masyarakat desa.
Selain itu, dana desa yang seharusnya menjadi tulang punggung pembangunan justru seringkali menjerat kepala desa dalam pusaran korupsi. Tingginya biaya politik untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa, intervensi banyak pihak terhadap dana desa, serta lemahnya kapasitas lembaga desa menjadi tantangan serius menuju cita-cita desa mandiri dan sejahtera.
Koperasi Merah Putih: Solusi atau Beban Baru?
Workshop juga menyoroti kebijakan pemerintah pusat yang terus membebani desa dengan program baru, seperti Koperasi Merah Putih (KMP). Program ini belum memiliki arah yang jelas, bahkan berpotensi menambah beban keuangan desa karena mekanisme pendanaannya melalui pinjaman bank. Jika mengalami kemacetan, dana desa bisa dijadikan agunan. Ini menimbulkan kekhawatiran akan semakin tersedotnya sumber daya desa untuk kepentingan yang tidak berbasis pada kebutuhan riil warga.
Antara Perdesaan dan Pedesaan: Pentingnya Memahami Ruang Hidup Desa
Diskusi juga menekankan pentingnya membedakan antara perdesaan (struktur administratif) dan pedesaan (ruang hidup agraris). Dalam konteks ini, desa harus memiliki sikap tegas terhadap investasi yang merusak sumber daya alam seperti tambang, food estate, dan eksploitasi hutan. Perlindungan ruang hidup desa menjadi kunci untuk kedaulatan desa dan kesejahteraan warganya.
Kebutuhan Mendasar: Peningkatan Pemahaman dan Kapasitas Lembaga Desa
Fakta yang mencuat dari workshop ini adalah masih banyak peserta yang belum memahami isi Undang-Undang Desa dan tugas pokok mereka sebagai bagian dari lembaga desa. Hal ini menunjukkan pentingnya fasilitasi berkelanjutan, terutama untuk penguatan kapasitas Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan perangkat desa lainnya.
Revisi UU Desa menjadi UU No. 3 Tahun 2024 membuka babak baru bagi desa, namun juga memunculkan berbagai tantangan. Untuk mewujudkan desa yang mandiri, adil, dan sejahtera, dibutuhkan bukan hanya regulasi yang berpihak, tetapi juga penguatan kapasitas, integritas kepemimpinan, serta perlindungan terhadap ruang hidup desa.
PETRASA dan peserta workshop berkomitmen untuk terus mendorong diskusi dan pendidikan politik desa agar warga desa mampu berdiri tegak sebagai subjek utama pembangunan.