Dalam semangat menjaga bumi dan memberdayakan jemaat, PETRASA bersama Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) menyelenggarakan Pelatihan dan Lokakarya Pembuatan Bokashi pada Kamis, 7 Agustus 2025.
Dipandu oleh Asef Hutasoit dari PETRASA, kegiatan ini diikuti jemaat GKPPD dengan latar belakang pertanian yang beragam. Pelatihan diawali dengan kisah “Perjalanan Pertanian Selaras Alam di Kabupaten Dairi” yang membuka wawasan peserta tentang potensi sumber daya lokal.
Bokashi: Pupuk Organik Ramah Lingkungan
Bokashi adalah pupuk organik yang dihasilkan dari fermentasi bahan alami seperti batang pisang, bonggol jagung, dedaunan, sekam, dedak, serbuk gergaji, dan kotoran ternak. Dengan bantuan mikroorganisme, Bokashi dapat:
Memperbaiki struktur tanah
Meningkatkan unsur hara
Mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia
Bahan-bahan untuk praktik langsung disiapkan dari sekitar Kantor Pusat GKPPD. Peserta belajar dari persiapan bahan, pencampuran, proses fermentasi, hingga tips penyimpanan dan penerapan di lahan.
Antusiasme dan Langkah Nyata
Sesi tanya jawab berlangsung hangat, dengan peserta ingin tahu dosis tepat, teknik penyimpanan, hingga peluang usaha dari pupuk organik. Sebagai dukungan berkelanjutan, Departemen Diakonia GKPPD menyediakan mesin pencacah yang bisa dimanfaatkan jemaat untuk memproduksi Bokashi.
Pelatihan ini ditutup dengan ibadah singkat dan seruan penuh semangat: “Tuppak Simerpara, merbuah dahan parira” “Menumpak Tuhan Debata, Njuah-Njuah kita karina!”
Dalam rangka memperkuat pengetahuan peternak dan meningkatkan pendapatan petani, Yayasan PETRASA menyelenggarakan Pelatihan Budidaya Ayam Kampung Berbasis Pakan Lokal pada Rabu, 23 Juli 2025, di Desa Sigalingging. Kegiatan ini diikuti oleh 23 peternak dari 10 desa dampingan.
Pelatihan ini bertujuan memperkenalkan teknologi budidaya ayam kampung yang mudah, murah, dan berkelanjutan, dengan memanfaatkan bahan pakan lokal seperti dedak, jagung, daun pepaya, dan daun singkong. Salah satu sorotan utama adalah pemanfaatan maggot Black Soldier Fly (BSF), sebagai sumber protein tinggi sekaligus pengurai limbah ternak.
Kegiatan ini berlangsung di kandang milik Fransiskus Sigalingging, peternak lokal yang telah mempraktikkan sistem ini secara nyata. Materi pelatihan mencakup teknik dasar budidaya ayam kampung, pembuatan kandang, pengolahan pakan fermentasi, budidaya maggot BSF, hingga strategi pemasaran dan perawatan ayam secara alami.
Selain teori, peserta juga melakukan praktik langsung fermentasi pakan dan panen maggot. Antusiasme tinggi terlihat sepanjang pelatihan, khususnya pada sesi praktik.
Dengan keterampilan ini, peternak diharapkan dapat mengembangkan usaha ternak secara mandiri, mengurangi ketergantungan pada pakan pabrikan, dan berkontribusi terhadap pengelolaan limbah organik yang lebih berkelanjutan.
Di tengah dinginnya malam Desa Silumboyah, enam belas pemuda duduk melingkar, saling berbagi cerita. Bukan sekadar berkumpul, mereka sedang menyalakan harapan. Dari tanggal 28 hingga 31 Juli 2025, mereka mengikuti Youth Farmer Training bertema “Growing Tomorrow, Nurturing Life, and Stewards Of The Earth.”
Mereka datang dengan beragam latar belakang, namun membawa keresahan yang sama. Mengapa petani makin sedikit, dan apakah bertani masih layak diperjuangkan?
Empat hari bersama, pengalaman belajar apa yang mereka tapaki?
Hari Pertama: Menyuarakan Kegelisahan
Pelatihan dibuka dengan refleksi tentang kondisi regenerasi petani. Diskusi berlangsung hangat: sebagian peserta mengaku pernah merasa malu disebut petani, sebagian lain ditentang orang tua karena memilih bertani daripada kerja kantoran. Namun semua sepakat, pertanian adalah fondasi kehidupan, dan harus diperjuangkan.
Hari Kedua: Belajar dari Alam
Hari kedua, mereka turun ke lahan. Peserta belajar membuat asupan pertanian dari bahan alami, mol, fermentasi daun, urin ternak, dan lainnya. Mereka juga mengenal ekologi tanah secara sederhana: menggenggam tanah, mencium baunya, memahami tanda-tanda kehidupan mikro di dalamnya.
“Ternyata bertani bisa dilakukan dengan bahan di sekitar kita,” ujar salah satu peserta.
Hari Ketiga: Bertani Terpadu dan Mandiri
Di hari ketiga, mereka menyaksikan bagaimana pertanian bisa saling terintegrasi: kopi dan lebah, padi dan ikan, ayam dengan pakan maggot. Mereka belajar langsung dari para petani dan peternak organik yang telah mendedikasikan diri mereka bertahun-tahun. Dari para petani teladan ini tumbuh rasa hormat. Tak hanya soal efisiensi, sistem ini juga menumbuhkan rasa hormat pada alam terlebih pada para petani dan peternak penjaga pangan dan alam.
Hari Keempat: Kepemimpinan dan Jaringan
Hari terakhir, mereka diajak menggali potensi diri sebagai pemimpin muda di komunitas. Sesi jejaring dibuka, ruang untuk saling bertukar kontak, rencana kolaborasi, bahkan mimpi membangun kelompok tani muda. Pelatihan ditutup dengan pemberian sertifikat, namun yang lebih penting telah lahir keyakinan baru bahwa bertani adalah masa depan.
Belajar dari Petani, Kembali ke Akar
Selama pelatihan, peserta tidak belajar dari buku atau dosen, tetapi dari para petani organik dampingan PETRASA. Lewat pendekatan farmer to farmer, pengetahuan ditularkan dengan bahasa yang membumi dan berbasis pengalaman nyata.
Dan malam itu, ketika obor menyala di tengah lingkaran, satu hal menjadi jelas: regenerasi petani tidak hanya soal kebijakan.
Ia tumbuh dari keberanian pemuda untuk kembali mencintai tanahnya. Maka bertani, bukan karena terpaksa, tapi karena tahu, inilah cara merawat hidup.
PETRASA kembali menegaskan komitmennya terhadap nilai inklusivitas melalui pertemuan yang hangat dan partisipatif bersama kelompok penyandang disabilitas di Bagas Pangula, Kabupaten Dairi. Pertemuan ini menjadi ruang penting untuk saling mendengar, menguatkan, dan menyusun langkah bersama demi terciptanya lingkungan yang lebih adil dan setara bagi semua.
Mendengar, Memahami, dan Bertindak
Dalam suasana penuh semangat dan keterbukaan, penyandang disabilitas dari berbagai latar belakang berbagi cerita, tantangan, dan harapan mereka. Diskusi ini menggambarkan betapa disabilitas bukanlah hambatan, tetapi bagian dari keberagaman manusia yang perlu dihargai. Melalui pemahaman yang utuh tentang jenis-jenis disabilitas, fisik, intelektual, sensorik, psikososial, dan perkembangan, fasilitator Veryanto Sitohang mengajak peserta melihat bahwa setiap orang memiliki potensi untuk tumbuh dan berkontribusi, bila diberikan ruang dan dukungan yang adil.
Menghapus Stigma, Menegakkan Hak
Salah satu suara yang mengemuka adalah pengalaman diskriminasi dan stigma yang kerap dialami para penyandang disabilitas, termasuk saat berhadapan dengan layanan publik maupun aparat penegak hukum. Dalam beberapa kasus, laporan hukum mereka diabaikan hanya karena kondisi disabilitas yang mereka miliki. Situasi ini menegaskan urgensi edukasi menyeluruh tentang kesetaraan hak, serta perlunya sistem hukum yang inklusif dan responsif terhadap semua warga negara.
Dari Aspirasi Menuju Aksi
Pertemuan ini bukan hanya ruang curhat, tetapi juga titik awal kolaborasi nyata. Rosminta Manalu, seorang penjahit dengan disabilitas, menyuarakan keinginannya untuk mengikuti pelatihan keterampilan menjahit agar lebih mandiri secara ekonomi. Peserta lainnya dari bidang pertanian berharap dapat mengakses pelatihan dan permodalan. Harapan-harapan ini menjadi pengingat bahwa para penyandang disabilitas tidak ingin hanya diberi bantuan, melainkan juga diberi kesempatan.
Bergerak Bersama
Di akhir pertemuan, lahirlah komitmen bersama: PETRASA dan kelompok disabilitas akan melakukan audiensi dengan DPRD untuk mendorong percepatan pengesahan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perlindungan Penyandang Disabilitas di Kabupaten Dairi. Langkah ini menjadi simbol bahwa perubahan nyata berangkat dari suara yang didengar dan niat yang dikonkretkan.
Inklusi bukan sekadar program—ia adalah cara kita memperlakukan satu sama lain. PETRASA percaya bahwa keberagaman adalah kekuatan, dan kesetaraan adalah hak setiap manusia. Bersama penyandang disabilitas, mari kita terus membangun ruang yang aman, mendukung, dan bermartabat untuk semua.
Pada tanggal 17–18 Juli 2025, PETRASA melalui Divisi Pertanian Selaras Alam (PSA) mengadakan kunjungan orientasi lapangan ke Yayasan Bitra Indonesia. Bertempat di hamparan persawahan Desa Dame, Kecamatan Dolok Masihul, kunjungan ini menjadi ruang belajar yang inspiratif bagi delapan petani dampingan PETRASA dan staf pendamping.
Tujuan utama kegiatan ini adalah memperkuat kapasitas petani dalam menghadapi perubahan iklim melalui pendekatan data-driven dalam pengelolaan pertanian. Salah satu fokus utama kunjungan ini adalah mempelajari program Sekolah Lapang Iklim (SLI) dan sistem budidaya padi organik dari petani dampingan Bitra Indonesia.
SLI: Menyelaraskan Tanam dengan Iklim
Sekolah Lapang Iklim (SLI) merupakan program kolaboratif antara BMKG, pemerintah Desa Dame, dan komunitas petani setempat. Program ini tidak hanya mengajarkan petani membaca prakiraan musim atau mengenali fenomena iklim ekstrem, tetapi juga bagaimana mereka dapat merespons kondisi tersebut dengan praktik pertanian yang adaptif.
Di demplot seluas 3 rante (1.200 m²), para petani menanam varietas padi mentik susu menggunakan sistem pertanian organik. Di sinilah mereka belajar langsung di lapangan, mulai dari membaca data cuaca lokal, merencanakan pola tanam, hingga mengenali teknik yang mampu menjaga hasil panen tetap optimal di tengah perubahan iklim yang tidak menentu.
SLI membuka ruang dialog yang partisipatif dan aplikatif. Petani PETRASA dan BITRA saling bertukar pengalaman, belajar bersama, dan saling menginspirasi. Diskusi dilakukan secara santai namun penuh makna — menjadikan pengalaman ini bukan sekadar studi banding, tetapi sebagai proses pertumbuhan bersama.
PAMOR dan Semangat Transformasi Pertanian
Kunjungan juga dilanjutkan ke Unit PAMOR Serdang Bedagai di Jambur Pulau. Di sini, diskusi mengupas perjuangan para petani dalam membangun sistem pertanian yang lebih sehat, ramah lingkungan, dan berkeadilan.
Dalam PAMOR, pertanian organik dipercaya bukan hanya soal bebas dari bahan kimia sintetis. Ini adalah gerakan hidup: menjaga kesuburan tanah, melestarikan keanekaragaman hayati, dan membangun sistem pangan yang adil bagi semua. Lebih dari itu, ini adalah bentuk perlawanan terhadap krisis ekologi dan ketimpangan yang masih membayangi petani kecil.
Budidaya padi organik menjadi bukti bahwa pertanian bisa menjadi solusi. Tak hanya menghasilkan beras yang sehat untuk konsumen, tapi juga menurunkan biaya produksi, menjaga kesehatan tanah, dan meningkatkan kesejahteraan petani dalam jangka panjang.
Bertani untuk Masa Depan yang Lestari
PETRASA melalui Divisi Pertanian Selaras Alam percaya bahwa pertanian bukan sekadar aktivitas ekonomi, tetapi jalan perubahan sosial. Ketika petani belajar membaca cuaca, mengelola lahannya dengan bijak, dan menjalin solidaritas lintas komunitas, di situlah lahir harapan akan masa depan pangan yang berdaulat dan berkelanjutan.
Dalam setiap proses belajar, PETRASA hadir sebagai teman seperjalanan. Kami akan terus mendampingi petani untuk membangun pertanian yang tangguh iklim, selaras dengan alam, dan berpijak pada kearifan lokal.
Karena kita percaya, petani bukan hanya penghasil pangan, mereka adalah pelindung bumi dan penjaga masa depan kita semua!
PETRASA terus konsisten mendampingi 103 kelompok Credit Union (CU) di 69 desa di Kabupaten Dairi untuk mendorong praktik pertanian yang selaras alam. Salah satu aksi nyata terbaru datang dari CU Maju Bersama di Desa Bakal Julu, Kecamatan Siempat Nempu Hulu, yang membangun Rumah Kompos sebagai bagian dari upaya menjaga keseimbangan alam dan mendukung kedaulatan pangan lokal.
Gagasan pembangunan rumah kompos ini lahir dari pertemuan CU yang difasilitasi oleh Jupri Siregar, staf pendamping PETRASA. Diskusi bersama pengurus CU dan tim PETRASA pada 26 Mei 2025 menyepakati tujuan utama rumah kompos, yaitu:
Menyediakan kompos bagi kebutuhan pertanian anggota CU,
Mengurangi ketergantungan terhadap pupuk sintetis, dan
Memanfaatkan sampah organik rumah tangga dan lingkungan.
Proses pembangunan terus melibatkan partisipasi aktif anggota CU. Pada 8 Juni 2025, sebanyak 128 anggota hadir dalam rapat di Balai Desa untuk menyampaikan konsep rumah kompos, menentukan lokasi, dan membentuk kelompok kerja.
Puncaknya, pada 14 Juli 2025, 17 anggota CU berkumpul untuk mengikuti peletakan batu pertama pembangunan rumah kompos. Acara dimulai dengan ibadah singkat sebagai ungkapan syukur atas semangat gotong royong yang lahir dari CU itu sendiri. Pembangunan rumah kompos ini menjadi simbol komitmen kolektif petani dalam menerapkan pertanian ramah lingkungan.
Sebagai kelanjutan, CU Maju Bersama akan mengadakan pelatihan pembuatan bokashi dan ecoenzyme pada 25 Juli 2025. Pelatihan ini bertujuan memperkuat pemahaman petani tentang pengelolaan sampah organik, dengan bahan-bahan seperti daun, kulit buah, dan gula merah.
Pelatihan ini akan menjadi bekal dasar tentang pertanian selaras alam dan menjadi salah satu upaya dalam mengatasi permasalahan sampah rumah tangga.
Jupri Siregar bersama Asef Hutasoit dan Ganda Sinambela dari PETRASA menyampaikan apresiasi atas inisiatif ini. Mereka menegaskan bahwa Rumah Kompos CU Maju Bersama adalah tonggak awal perubahan di desa—contoh nyata kolaborasi komunitas yang merespon isu lingkungan dengan cara yang mandiri dan berkelanjutan.
Langkah kecil ini adalah harapan besar bagi bumi yang lebih lestari. Bersama Kita Bisa!
Krisis lingkungan yang terjadi hari ini bukan hanya soal rusaknya ekosistem. Ia juga soal ketimpangan, ketidakadilan, dan hilangnya ruang hidup, terutama bagi mereka yang selama ini paling dekat dengan alam: perempuan di pedesaan.
UNFCCC, dalam agenda kerjanya, telah menegaskan pentingnya pelibatan setara antara perempuan dan laki-laki dalam kebijakan iklim yang responsif gender. Hal ini menjadi semangat yang juga diusung PETRASA dalam Pelatihan Perempuan Potensial Seri Kedua, yang diselenggarakan pada 3–4 Juli 2025 dengan tema “Perempuan dan Lingkungan.”
Pelatihan ini menghadirkan narasumber utama Delima Silalahi, seorang aktivis lingkungan yang telah lama mendampingi masyarakat adat dan komunitas lokal dalam mempertahankan hak atas tanah dan lingkungan. Dengan pengalamannya yang luas, Delima mengajak peserta menggali lebih dalam tentang hubungan antara perempuan, ruang hidup, dan pembangunan.
Membaca Ulang Hubungan Perempuan dan Alam
Sebanyak 18 petani perempuan dampingan PETRASA dari berbagai desa mengikuti pelatihan ini. Mereka terlibat aktif dalam lima sesi utama:
Manusia dan Sumber Daya Alam,
Hadirnya Proyek-Proyek Pembangunan,
Dampaknya terhadap Lingkungan dan Perempuan,
Prinsip-Prinsip Hak atas Lingkungan Hidup,
Perjuangan Kelompok Perempuan dan Public Speaking.
Jauh sebelum mengikuti pelatihan ini, mereka sudah lama bergerak melakukan aksi pelestarian lingkungan melalui pertanian selaras alam. Sebagian dari mereka juga berjuang mempertahankan wilayah dan hutannya. Mereka menyadari bahwa tidak semua proyek pembangunan memberikan dampak positif bagi keberlangsungan hidup di desa. Sebaliknya justru merampas hak atas tanah adat, hutan, sumber air, menimbulkan konflik horizontal, penurunan ekonomi, dan bahkan penurunan kualitas hidup. Dan kondisi ini, memerlukan peran kita semua untuk kritis melihat dampak yang akan terjadi ke depan, sebelum merenggut keberlangsungan hidup.
Bagi mereka, pembangunan yang tidak berpihak pada keberlanjutan dan keadilan hanya akan memperdalam luka. Kondisi ini mendorong pentingnya kesadaran kolektif untuk menilai secara kritis arah pembangunan, sebelum semuanya terlambat.
Peningkatan kapasitas bagi perempuan tentang ekologi.
Delima Silalahi sebagai narasumber memberikan materi.
Para perempuan pejuang ekologi.
Ketika Perempuan Melawan
Dalam salah satu sesi, seorang peserta menceritakan perjuangannya bersama warga desa melawan perusahaan perampas hutan. Dimulai dari penyadaran, penguatan organisasi perempuan, hingga aksi kolektif yang membuat perusahaan itu akhirnya hengkang dari wilayah mereka. Namun perjuangan belum usai, karena ancaman serupa masih membayangi dusun-dusun lain.
Perempuan tidak hanya terdampak paling berat oleh kerusakan lingkungan, tetapi juga memiliki peran penting dalam upaya pemulihan. Seperti bumi yang melahirkan kehidupan, perempuan adalah penjaga keberlanjutan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Warren (1996), bumi seringkali dilambangkan sebagai tubuh perempuan—yang bila ditindas, maka kehidupan pun terancam. Dalam konteks pembangunan industri yang eksploitatif, perempuan kerap kehilangan akses terhadap pangan sehat, beban kerja meningkat, hak dan kedaulatan dipinggirkan, serta rentan terhadap kekerasan.
Menanam Harapan, Menjaga Masa Depan
Pelatihan ini menjadi ruang untuk merajut kembali kesadaran ekologis, membangun solidaritas, dan menegaskan bahwa perempuan memiliki hak atas lingkungan hidup yang sehat dan aman. Bukan hanya sebagai korban, tetapi sebagai aktor perubahan.
Di akhir pelatihan, para peserta saling berbagi praktik menjaga lingkungan dari rumah, seperti:
Memilah sampah sesuai jenisnya,
Menerapkan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle),
Menghemat energi dan air,
Menghindari penggunaan bahan kimia berbahaya,
Tidak membakar lahan atau sampah,
Menanam untuk masa depan.
Pelatihan ini bukan akhir, tetapi sebuah langkah kecil dari perjalanan panjang untuk mewujudkan keadilan ekologis yang berpihak pada perempuan dan bumi.
Karena ketika bumi terusik, perempuan tidak tinggal diam—mereka melawan, bertahan, dan menjaga kehidupan.
Pada 31 Juli 2025, Yayasan PETRASA kembali memperkuat peran sebagai mitra strategis desa melalui Diskusi Tematik Ketahanan Pangan bersama Pemerintah Desa Sumbul Tengah, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi. Diskusi ini menjadi bagian dari kerja sama dalam kerangka P2KTD (Penyedia Peningkatan Kapasitas Teknis Desa), sebuah sistem nasional yang dikelola oleh Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal.
Melalui platform ini, PETRASA kini dipercaya menjadi konsultan strategis bagi lima desa di Kabupaten Dairi dengan fokus pada isu ketahanan pangan dan pertanian berkelanjutan. Salah satunya adalah pengembangan sektor peternakan babi di Desa Sumbul Tengah sebagai strategi untuk memperkuat ketahanan pangan lokal.
Namun, sektor ini tidak luput dari tantangan. Ancaman penyakit seperti African Swine Fever (ASF) menjadi kekhawatiran besar bagi para peternak. Untuk itu, Tim Tematik Ketahanan Pangan (TPK) bersama pemerintah desa dan masyarakat merancang pendekatan berbasis biosecurity, dimulai dengan sterilisasi kandang melalui penyemprotan disinfektan dan pengasapan selama dua minggu. Langkah selanjutnya adalah menyiapkan pakan ternak yang sesuai serta memastikan seleksi bibit babi yang sehat dan berkualitas.
Diskusi ini juga melibatkan pembahasan terkait kampanye adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, yang akan dimulai dengan pemasangan spanduk edukatif di setiap dusun di Desa Sumbul Tengah. Kampanye ini bertujuan untuk mengajak seluruh warga desa ambil bagian dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan dan membangun kesadaran bersama akan pentingnya respons terhadap krisis iklim.
Sebagai organisasi masyarakat sipil yang lahir dan tumbuh bersama komunitas akar rumput, PETRASA terus menjaga semangat kolaborasi dengan desa. Kami percaya bahwa ketahanan pangan tidak hanya soal ketersediaan pangan, tetapi juga soal kedaulatan petani dan keberlanjutan sistem pangan lokal.
Bersama desa, PETRASA berkomitmen untuk melangkah lebih jauh—membangun desa yang berdaya, petani yang berdaulat, dan masa depan pangan yang adil serta lestari.
Diskusi Pemerintah Desa Sumbul Tengah dengan Staf PETRASA.
Diskusi Pemerintah Desa Sumbul Tengah dengan Staf PETRASA.
Credit Union (CU) Sahabat Tani resmi membuka kantor baru yang dibangun dari hasil perjuangan panjang dan kebersamaan selama dua dekade. Berlokasi di Desa Palding Jaya Sumbul, Kecamatan Tigalingga, Kabupaten Dairi, kantor ini menjadi simbol keberhasilan gerakan ekonomi kerakyatan yang dibangun dari, oleh, dan untuk anggota.
CU Sahabat Tani merupakan salah satu CU dampingan PETRASA yang telah dirintis sejak tahun 2005 oleh sekitar 30 orang dari Desa Palding Jaya dan Sumbul Tengah. Dengan semangat gotong royong dan nilai-nilai saling percaya, CU ini berkembang hingga memiliki 212 anggota dewasa dan 157 anggota anak.
Perjalanan CU Sahabat Tani tidak selalu mudah. Tantangan dalam berorganisasi dan naik turunnya partisipasi anggota menjadi bagian dari dinamika yang membentuk kekuatan mereka hari ini. Namun, komitmen untuk membangun ekonomi alternatif berbasis solidaritas membuat CU ini mampu bertahan bahkan terus bertumbuh.
Puncak dari perjalanan panjang ini dirayakan pada peresmian kantor CU yang dibangun secara mandiri dari akumulasi Sisa Hasil Usaha (SHU) tahunan anggota. Kantor ini bukan sekadar bangunan fisik, tetapi juga menjadi bukti nyata bahwa ekonomi kerakyatan dapat menjadi jalan keluar dari tantangan akses keuangan dan permodalan di desa, terutama bagi petani dan pelaku usaha kecil.
Pada momen peresmian, para anggota menegaskan harapan agar pengurus tetap menjunjung tinggi transparansi, kredibilitas, dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan CU. Hal ini menjadi fondasi agar nilai-nilai yang telah dibangun bersama tidak tercemari dan CU Sahabat Tani tetap menjadi rumah aman bagi anggotanya di masa depan.
CU Sahabat Tani hadir bukan hanya sebagai lembaga simpan pinjam, tetapi sebagai ruang pendidikan dan pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas. Semangat yang terus dihidupi adalah bahwa Credit Union bukan milik satu orang, melainkan milik bersama. Ini adalah gerakan untuk memperkuat kemandirian ekonomi rakyat di tengah sistem yang kerap mengabaikan kebutuhan mereka.
Sebagaimana ungkapan bijak Batak yang menjadi semangat acara ini, “Tampakna do Tajomna, Rimni Tahi do Gogona” Kebersamaan dan kesatuan hati dapat menghasilkan kekuatan, menyelesaikan masalah, bahkan hal-hal yang sulit sekalipun.
PETRASA bangga menjadi bagian dari perjalanan ini dan akan terus mendampingi gerakan CU yang berpihak pada keadilan sosial, kedaulatan ekonomi, dan kehidupan bermartabat di desa-desa.
Di Desa Sumbul Tengah, yang terletak di dataran rendah Kabupaten Dairi, cuaca semakin tak menentu. Hujan turun tak tentu waktu, angin berhembus lebih kencang, dan tanah longsor kerap mengancam. Namun, selama ini, masyarakat belum benar-benar menyadari bahwa semua itu adalah dampak dari perubahan iklim.
Pada 20-21 Maret 2025, PETRASA bersama masyarakat Desa Sumbul Tengah mengadakan pelatihan menggunakan metode PACDR(Participatory Assessment of Climate and Disaster Risks). Dengan cara yang partisipatif dan inklusif, warga dari enam dusun—Bandar Selamat, Napa Sondel, Rindang, Pulo Gundur, Sumbul Tengah, dan Ujung Parira—ikut serta dalam diskusi dan pemetaan risiko iklim.
Di akhir pertemuan, masyarakat menyadari bahwa ada tiga ancaman utama yang perlu dihadapi bersama: kekeringan, angin kencang, dan longsor. Kesadaran ini mendorong mereka untuk membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Tangguh Iklim, yang dipimpin oleh tiga orang perwakilan desa. Pokja ini akan menjadi penggerak aksi-aksi nyata agar desa lebih siap menghadapi dampak perubahan iklim. Tentu dalam aksi-aksi tangguh Iklim kedepan tidak dapat hanya dilakukan oleh Pokja atau Desa Sumbul Tengah, semua elemen harus terlibat.
Kepala Desa Sumbul Tengah, Sahma Diamasi Pasaribu, dengan penuh semangat mendukung inisiatif ini. Ia berkomitmen untuk menciptakan masyarakat yang lebih tangguh menghadapi bencana.
“Ini bukan hanya tugas Pokja atau pemerintah desa saja, tapi tanggung jawab kita semua—mulai dari pemerintah kabupaten, pusat, hingga organisasi sosial,” ujarnya.
Petrasa juga mengapresiasi Pemerintah Desa Sumbul Tengah yang sangat terbuka dalam mengimplementasikan PACDR di desanya. Dengan langkah awal ini, warga Desa Sumbul Tengah tak lagi sekadar menghadapi cuaca ekstrem sebagai nasib semata. Mereka kini memiliki rencana, strategi, dan semangat kebersamaan untuk tetap bertahan dan berkembang di tengah perubahan iklim.