Dalam rangka memperkuat pengetahuan peternak dan meningkatkan pendapatan petani, Yayasan PETRASA menyelenggarakan Pelatihan Budidaya Ayam Kampung Berbasis Pakan Lokal pada Rabu, 23 Juli 2025, di Desa Sigalingging. Kegiatan ini diikuti oleh 23 peternak dari 10 desa dampingan.
Pelatihan ini bertujuan memperkenalkan teknologi budidaya ayam kampung yang mudah, murah, dan berkelanjutan, dengan memanfaatkan bahan pakan lokal seperti dedak, jagung, daun pepaya, dan daun singkong. Salah satu sorotan utama adalah pemanfaatan maggot Black Soldier Fly (BSF), sebagai sumber protein tinggi sekaligus pengurai limbah ternak.
Kegiatan ini berlangsung di kandang milik Fransiskus Sigalingging, peternak lokal yang telah mempraktikkan sistem ini secara nyata. Materi pelatihan mencakup teknik dasar budidaya ayam kampung, pembuatan kandang, pengolahan pakan fermentasi, budidaya maggot BSF, hingga strategi pemasaran dan perawatan ayam secara alami.
Selain teori, peserta juga melakukan praktik langsung fermentasi pakan dan panen maggot. Antusiasme tinggi terlihat sepanjang pelatihan, khususnya pada sesi praktik.
Dengan keterampilan ini, peternak diharapkan dapat mengembangkan usaha ternak secara mandiri, mengurangi ketergantungan pada pakan pabrikan, dan berkontribusi terhadap pengelolaan limbah organik yang lebih berkelanjutan.
Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014 dianggap sebagai langkah visioner dalam mengubah arah pembangunan nasional. Dengan semangat “Membangun Indonesia dari Pinggiran”, desa diberikan ruang untuk mengelola potensi secara mandiri dan melibatkan partisipasi warganya dalam pembangunan. Namun, satu dekade sejak diundangkan, tantangan demi tantangan masih menyelimuti implementasinya.
Dalam Workshop Revisi Undang-Undang Desa yang digelar PETRASA dan dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat desa, mulai dari kepala desa, BPD, petani, pendamping desa, hingga kelompok perempuan dan disabilitas, dibahas berbagai aspek dari revisi UU Desa yang kini menjadi UU No. 3 Tahun 2024.
Mimpi Desa Sejahtera: Antara Potensi dan Realita
Revisi UU Desa menambahkan masa jabatan kepala desa dari 6 menjadi 8 tahun. Alasannya, waktu enam tahun dinilai belum cukup untuk menyelesaikan pembangunan karena kepala desa masih harus beradaptasi dengan dinamika politik pasca pemilihan. Namun, kebijakan ini juga menuai kritik. Menurut narasumber workshop, Eko Cahyono, proses revisi ini terkesan politis dan terburu-buru tanpa urgensi nyata dari masyarakat desa.
Selain itu, dana desa yang seharusnya menjadi tulang punggung pembangunan justru seringkali menjerat kepala desa dalam pusaran korupsi. Tingginya biaya politik untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa, intervensi banyak pihak terhadap dana desa, serta lemahnya kapasitas lembaga desa menjadi tantangan serius menuju cita-cita desa mandiri dan sejahtera.
Koperasi Merah Putih: Solusi atau Beban Baru?
Workshop juga menyoroti kebijakan pemerintah pusat yang terus membebani desa dengan program baru, seperti Koperasi Merah Putih (KMP). Program ini belum memiliki arah yang jelas, bahkan berpotensi menambah beban keuangan desa karena mekanisme pendanaannya melalui pinjaman bank. Jika mengalami kemacetan, dana desa bisa dijadikan agunan. Ini menimbulkan kekhawatiran akan semakin tersedotnya sumber daya desa untuk kepentingan yang tidak berbasis pada kebutuhan riil warga.
Antara Perdesaan dan Pedesaan: Pentingnya Memahami Ruang Hidup Desa
Diskusi juga menekankan pentingnya membedakan antara perdesaan (struktur administratif) dan pedesaan (ruang hidup agraris). Dalam konteks ini, desa harus memiliki sikap tegas terhadap investasi yang merusak sumber daya alam seperti tambang, food estate, dan eksploitasi hutan. Perlindungan ruang hidup desa menjadi kunci untuk kedaulatan desa dan kesejahteraan warganya.
Kebutuhan Mendasar: Peningkatan Pemahaman dan Kapasitas Lembaga Desa
Fakta yang mencuat dari workshop ini adalah masih banyak peserta yang belum memahami isi Undang-Undang Desa dan tugas pokok mereka sebagai bagian dari lembaga desa. Hal ini menunjukkan pentingnya fasilitasi berkelanjutan, terutama untuk penguatan kapasitas Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan perangkat desa lainnya.
Revisi UU Desa menjadi UU No. 3 Tahun 2024 membuka babak baru bagi desa, namun juga memunculkan berbagai tantangan. Untuk mewujudkan desa yang mandiri, adil, dan sejahtera, dibutuhkan bukan hanya regulasi yang berpihak, tetapi juga penguatan kapasitas, integritas kepemimpinan, serta perlindungan terhadap ruang hidup desa.
PETRASA dan peserta workshop berkomitmen untuk terus mendorong diskusi dan pendidikan politik desa agar warga desa mampu berdiri tegak sebagai subjek utama pembangunan.
PETRASA kembali menegaskan komitmennya terhadap nilai inklusivitas melalui pertemuan yang hangat dan partisipatif bersama kelompok penyandang disabilitas di Bagas Pangula, Kabupaten Dairi. Pertemuan ini menjadi ruang penting untuk saling mendengar, menguatkan, dan menyusun langkah bersama demi terciptanya lingkungan yang lebih adil dan setara bagi semua.
Mendengar, Memahami, dan Bertindak
Dalam suasana penuh semangat dan keterbukaan, penyandang disabilitas dari berbagai latar belakang berbagi cerita, tantangan, dan harapan mereka. Diskusi ini menggambarkan betapa disabilitas bukanlah hambatan, tetapi bagian dari keberagaman manusia yang perlu dihargai. Melalui pemahaman yang utuh tentang jenis-jenis disabilitas, fisik, intelektual, sensorik, psikososial, dan perkembangan, fasilitator Veryanto Sitohang mengajak peserta melihat bahwa setiap orang memiliki potensi untuk tumbuh dan berkontribusi, bila diberikan ruang dan dukungan yang adil.
Menghapus Stigma, Menegakkan Hak
Salah satu suara yang mengemuka adalah pengalaman diskriminasi dan stigma yang kerap dialami para penyandang disabilitas, termasuk saat berhadapan dengan layanan publik maupun aparat penegak hukum. Dalam beberapa kasus, laporan hukum mereka diabaikan hanya karena kondisi disabilitas yang mereka miliki. Situasi ini menegaskan urgensi edukasi menyeluruh tentang kesetaraan hak, serta perlunya sistem hukum yang inklusif dan responsif terhadap semua warga negara.
Dari Aspirasi Menuju Aksi
Pertemuan ini bukan hanya ruang curhat, tetapi juga titik awal kolaborasi nyata. Rosminta Manalu, seorang penjahit dengan disabilitas, menyuarakan keinginannya untuk mengikuti pelatihan keterampilan menjahit agar lebih mandiri secara ekonomi. Peserta lainnya dari bidang pertanian berharap dapat mengakses pelatihan dan permodalan. Harapan-harapan ini menjadi pengingat bahwa para penyandang disabilitas tidak ingin hanya diberi bantuan, melainkan juga diberi kesempatan.
Bergerak Bersama
Di akhir pertemuan, lahirlah komitmen bersama: PETRASA dan kelompok disabilitas akan melakukan audiensi dengan DPRD untuk mendorong percepatan pengesahan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perlindungan Penyandang Disabilitas di Kabupaten Dairi. Langkah ini menjadi simbol bahwa perubahan nyata berangkat dari suara yang didengar dan niat yang dikonkretkan.
Inklusi bukan sekadar program—ia adalah cara kita memperlakukan satu sama lain. PETRASA percaya bahwa keberagaman adalah kekuatan, dan kesetaraan adalah hak setiap manusia. Bersama penyandang disabilitas, mari kita terus membangun ruang yang aman, mendukung, dan bermartabat untuk semua.
Krisis lingkungan yang terjadi hari ini bukan hanya soal rusaknya ekosistem. Ia juga soal ketimpangan, ketidakadilan, dan hilangnya ruang hidup, terutama bagi mereka yang selama ini paling dekat dengan alam: perempuan di pedesaan.
UNFCCC, dalam agenda kerjanya, telah menegaskan pentingnya pelibatan setara antara perempuan dan laki-laki dalam kebijakan iklim yang responsif gender. Hal ini menjadi semangat yang juga diusung PETRASA dalam Pelatihan Perempuan Potensial Seri Kedua, yang diselenggarakan pada 3–4 Juli 2025 dengan tema “Perempuan dan Lingkungan.”
Pelatihan ini menghadirkan narasumber utama Delima Silalahi, seorang aktivis lingkungan yang telah lama mendampingi masyarakat adat dan komunitas lokal dalam mempertahankan hak atas tanah dan lingkungan. Dengan pengalamannya yang luas, Delima mengajak peserta menggali lebih dalam tentang hubungan antara perempuan, ruang hidup, dan pembangunan.
Membaca Ulang Hubungan Perempuan dan Alam
Sebanyak 18 petani perempuan dampingan PETRASA dari berbagai desa mengikuti pelatihan ini. Mereka terlibat aktif dalam lima sesi utama:
Manusia dan Sumber Daya Alam,
Hadirnya Proyek-Proyek Pembangunan,
Dampaknya terhadap Lingkungan dan Perempuan,
Prinsip-Prinsip Hak atas Lingkungan Hidup,
Perjuangan Kelompok Perempuan dan Public Speaking.
Jauh sebelum mengikuti pelatihan ini, mereka sudah lama bergerak melakukan aksi pelestarian lingkungan melalui pertanian selaras alam. Sebagian dari mereka juga berjuang mempertahankan wilayah dan hutannya. Mereka menyadari bahwa tidak semua proyek pembangunan memberikan dampak positif bagi keberlangsungan hidup di desa. Sebaliknya justru merampas hak atas tanah adat, hutan, sumber air, menimbulkan konflik horizontal, penurunan ekonomi, dan bahkan penurunan kualitas hidup. Dan kondisi ini, memerlukan peran kita semua untuk kritis melihat dampak yang akan terjadi ke depan, sebelum merenggut keberlangsungan hidup.
Bagi mereka, pembangunan yang tidak berpihak pada keberlanjutan dan keadilan hanya akan memperdalam luka. Kondisi ini mendorong pentingnya kesadaran kolektif untuk menilai secara kritis arah pembangunan, sebelum semuanya terlambat.
Peningkatan kapasitas bagi perempuan tentang ekologi.
Delima Silalahi sebagai narasumber memberikan materi.
Para perempuan pejuang ekologi.
Ketika Perempuan Melawan
Dalam salah satu sesi, seorang peserta menceritakan perjuangannya bersama warga desa melawan perusahaan perampas hutan. Dimulai dari penyadaran, penguatan organisasi perempuan, hingga aksi kolektif yang membuat perusahaan itu akhirnya hengkang dari wilayah mereka. Namun perjuangan belum usai, karena ancaman serupa masih membayangi dusun-dusun lain.
Perempuan tidak hanya terdampak paling berat oleh kerusakan lingkungan, tetapi juga memiliki peran penting dalam upaya pemulihan. Seperti bumi yang melahirkan kehidupan, perempuan adalah penjaga keberlanjutan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Warren (1996), bumi seringkali dilambangkan sebagai tubuh perempuan—yang bila ditindas, maka kehidupan pun terancam. Dalam konteks pembangunan industri yang eksploitatif, perempuan kerap kehilangan akses terhadap pangan sehat, beban kerja meningkat, hak dan kedaulatan dipinggirkan, serta rentan terhadap kekerasan.
Menanam Harapan, Menjaga Masa Depan
Pelatihan ini menjadi ruang untuk merajut kembali kesadaran ekologis, membangun solidaritas, dan menegaskan bahwa perempuan memiliki hak atas lingkungan hidup yang sehat dan aman. Bukan hanya sebagai korban, tetapi sebagai aktor perubahan.
Di akhir pelatihan, para peserta saling berbagi praktik menjaga lingkungan dari rumah, seperti:
Memilah sampah sesuai jenisnya,
Menerapkan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle),
Menghemat energi dan air,
Menghindari penggunaan bahan kimia berbahaya,
Tidak membakar lahan atau sampah,
Menanam untuk masa depan.
Pelatihan ini bukan akhir, tetapi sebuah langkah kecil dari perjalanan panjang untuk mewujudkan keadilan ekologis yang berpihak pada perempuan dan bumi.
Karena ketika bumi terusik, perempuan tidak tinggal diam—mereka melawan, bertahan, dan menjaga kehidupan.
Pada 31 Juli 2025, Yayasan PETRASA kembali memperkuat peran sebagai mitra strategis desa melalui Diskusi Tematik Ketahanan Pangan bersama Pemerintah Desa Sumbul Tengah, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi. Diskusi ini menjadi bagian dari kerja sama dalam kerangka P2KTD (Penyedia Peningkatan Kapasitas Teknis Desa), sebuah sistem nasional yang dikelola oleh Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal.
Melalui platform ini, PETRASA kini dipercaya menjadi konsultan strategis bagi lima desa di Kabupaten Dairi dengan fokus pada isu ketahanan pangan dan pertanian berkelanjutan. Salah satunya adalah pengembangan sektor peternakan babi di Desa Sumbul Tengah sebagai strategi untuk memperkuat ketahanan pangan lokal.
Namun, sektor ini tidak luput dari tantangan. Ancaman penyakit seperti African Swine Fever (ASF) menjadi kekhawatiran besar bagi para peternak. Untuk itu, Tim Tematik Ketahanan Pangan (TPK) bersama pemerintah desa dan masyarakat merancang pendekatan berbasis biosecurity, dimulai dengan sterilisasi kandang melalui penyemprotan disinfektan dan pengasapan selama dua minggu. Langkah selanjutnya adalah menyiapkan pakan ternak yang sesuai serta memastikan seleksi bibit babi yang sehat dan berkualitas.
Diskusi ini juga melibatkan pembahasan terkait kampanye adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, yang akan dimulai dengan pemasangan spanduk edukatif di setiap dusun di Desa Sumbul Tengah. Kampanye ini bertujuan untuk mengajak seluruh warga desa ambil bagian dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan dan membangun kesadaran bersama akan pentingnya respons terhadap krisis iklim.
Sebagai organisasi masyarakat sipil yang lahir dan tumbuh bersama komunitas akar rumput, PETRASA terus menjaga semangat kolaborasi dengan desa. Kami percaya bahwa ketahanan pangan tidak hanya soal ketersediaan pangan, tetapi juga soal kedaulatan petani dan keberlanjutan sistem pangan lokal.
Bersama desa, PETRASA berkomitmen untuk melangkah lebih jauh—membangun desa yang berdaya, petani yang berdaulat, dan masa depan pangan yang adil serta lestari.
Diskusi Pemerintah Desa Sumbul Tengah dengan Staf PETRASA.
Diskusi Pemerintah Desa Sumbul Tengah dengan Staf PETRASA.
Di Desa Sumbul Tengah, yang terletak di dataran rendah Kabupaten Dairi, cuaca semakin tak menentu. Hujan turun tak tentu waktu, angin berhembus lebih kencang, dan tanah longsor kerap mengancam. Namun, selama ini, masyarakat belum benar-benar menyadari bahwa semua itu adalah dampak dari perubahan iklim.
Pada 20-21 Maret 2025, PETRASA bersama masyarakat Desa Sumbul Tengah mengadakan pelatihan menggunakan metode PACDR(Participatory Assessment of Climate and Disaster Risks). Dengan cara yang partisipatif dan inklusif, warga dari enam dusun—Bandar Selamat, Napa Sondel, Rindang, Pulo Gundur, Sumbul Tengah, dan Ujung Parira—ikut serta dalam diskusi dan pemetaan risiko iklim.
Di akhir pertemuan, masyarakat menyadari bahwa ada tiga ancaman utama yang perlu dihadapi bersama: kekeringan, angin kencang, dan longsor. Kesadaran ini mendorong mereka untuk membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Tangguh Iklim, yang dipimpin oleh tiga orang perwakilan desa. Pokja ini akan menjadi penggerak aksi-aksi nyata agar desa lebih siap menghadapi dampak perubahan iklim. Tentu dalam aksi-aksi tangguh Iklim kedepan tidak dapat hanya dilakukan oleh Pokja atau Desa Sumbul Tengah, semua elemen harus terlibat.
Kepala Desa Sumbul Tengah, Sahma Diamasi Pasaribu, dengan penuh semangat mendukung inisiatif ini. Ia berkomitmen untuk menciptakan masyarakat yang lebih tangguh menghadapi bencana.
“Ini bukan hanya tugas Pokja atau pemerintah desa saja, tapi tanggung jawab kita semua—mulai dari pemerintah kabupaten, pusat, hingga organisasi sosial,” ujarnya.
Petrasa juga mengapresiasi Pemerintah Desa Sumbul Tengah yang sangat terbuka dalam mengimplementasikan PACDR di desanya. Dengan langkah awal ini, warga Desa Sumbul Tengah tak lagi sekadar menghadapi cuaca ekstrem sebagai nasib semata. Mereka kini memiliki rencana, strategi, dan semangat kebersamaan untuk tetap bertahan dan berkembang di tengah perubahan iklim.
Senin pagi, 25 Maret 2025, suasana di halaman Kantor PETRASA terasa berbeda dari biasanya. Lebih dari seratus orang berkumpul dengan penuh semangat, mengenakan pakaian terbaik mereka. Hari itu adalah momen penting bagi Perhimpunan Petani Organik Dairi (PPODA) karena selain menggelar Rapat Anggota Tahunan (RAT), mereka juga merayakan usia dua dekade perjalanan organisasi ini.
Sebanyak 103 peserta hadir dalam RAT ini, terdiri dari perwakilan Kelompok Credit Union (CU), Pengurus PPODA periode 2022-2025, dan staf PETRASA. Acara dimulai dengan ibadah singkat, mengiringi syukur atas pencapaian yang telah diraih.
Lidia Naibaho, Sekretaris Eksekutif PETRASA, membuka pertemuan dengan sebuah pesan kuat,
“Kelompok CU harus terus berkembang, bukan hanya dalam hal simpan pinjam, tetapi juga dalam program peningkatan kapasitas, seperti pelatihan pertanian organik dan peternakan yang difasilitasi oleh PETRASA.”
Berbagai agenda penting telah disiapkan dalam RAT kali ini, termasuk:
Laporan Pertanggungjawaban Pengurus PPODA
Laporan Keuangan PPODA, termasuk pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) dan laporan Dana Sosial
Pembahasan Rencana Program PPODA Tahun 2025
Perayaan Ulang Tahun PPODA ke-20
Pemilihan Pengurus PPODA periode 2025-2028
Dalam laporan pertanggungjawaban, Ketua PPODA periode 2022-2025 menyampaikan beberapa pencapaian yang telah diraih, seperti pengembangan usaha inseminasi buatan pada ternak babi dan kunjungan ke kelompok CU yang menghadapi masalah kredit macet. Diskusi yang muncul pun berjalan dengan dinamis, penuh gagasan dan harapan untuk masa depan. Ke depan, PPODA akan lebih fokus pada penyelesaian kredit macet, pengembangan inseminasi buatan, serta memperluas program pertanian dan peternakan organik.
Setelah agenda RAT selesai, suasana beralih ke perayaan ulang tahun PPODA yang ke-20. Dua dekade bukanlah perjalanan yang singkat. Dari hanya beberapa kelompok CU di awal berdiri, kini PPODA telah menaungi 101 Kelompok CU dengan lebih dari 5.300 anggota dewasa. Para peserta bersorak penuh kebanggaan, merayakan kebersamaan dan kerja keras yang telah membawa organisasi ini sampai ke titik ini. Filosofi Credit Union yang mengedepankan kepercayaan dan saling membantu kembali ditegaskan sebagai fondasi utama bagi setiap anggota.
Momen paling dinanti tiba, yaitu pemilihan pengurus baru periode 2025-2028. Berbeda dari sebelumnya, kali ini mekanisme pemilihan dibuat lebih demokratis dan transparan. Layaknya pemilu, para anggota memberikan suaranya melalui kertas suara, bilik suara, dan kotak suara. Setiap kandidat diberikan kesempatan untuk menyampaikan visi dan misinya sebelum pemungutan suara dimulai. Antusiasme para anggota terlihat jelas, baik laki-laki maupun perempuan, mereka berpartisipasi aktif dalam menentukan kepemimpinan baru.
Hasil pemilihan pun diumumkan. Berdasarkan suara terbanyak, berikut adalah susunan pengurus PPODA periode 2025-2028:
Ketua: Parlindungan Tambunan
Wakil Ketua: Elviana br Pandiangan
Sekretaris: Doris br Sihombing
Bendahara: Herni br Simanjuntak
Pengurus inti ini akan dibantu oleh Koordinator Divisi dan Koordinator Kecamatan yang akan ditentukan dalam rapat berikutnya bersama staf pendamping PETRASA.
Dengan semangat baru, PPODA melangkah ke masa depan, membawa harapan bagi para petani organik di Dairi. Selamat ulang tahun ke-20, PPODA! Semoga semakin jaya, menjadi rumah bagi petani organik, dan terus mendorong kebijakan demi kesejahteraan masyarakat.
Tanah merupakan sistem hidup yang sangat penting sebagai sumber kehidupan bagi makhluk hidup di bumi. Dalam upaya meningkatkan kesuburan tanah serta sebagai langkah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, Aliansi Organik Indonesia (AOI) mengadakan Training of Trainer (TOT) Ekologi Tanah. Pelatihan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang ekologi tanah serta metode konservasi tanah, sehingga peserta dapat menjadi fasilitator yang nantinya akan melatih calon pelatih lainnya. Kegiatan ini berlangsung selama empat hari dan diikuti oleh berbagai peserta, termasuk staf organisasi serta petani dampingan.
Pelaksanaan TOT Ekologi Tanah
Pelatihan TOT Ekologi Tanah kali ini diadakan di Learning Center Yayasan Ate Kelleng, berlangsung dari tanggal 11 hingga 14 Februari 2025. Kegiatan ini diikuti oleh peserta dari berbagai wilayah, termasuk Region Sumatera dan Kalimantan. Salah satu organisasi yang turut serta adalah PETRASA, yang mengirimkan dua orang staf dan satu orang petani dampingan.
Materi dan Kegiatan Pelatihan
Hari pertama dimulai dengan sesi pendidikan orang dewasa (andragogi), di mana peserta mempelajari teknik kepemanduan. Mereka diajarkan untuk menganalisis kebutuhan pelatihan, merancang, serta mengevaluasi proses pelatihan agar dapat diterapkan dengan baik dalam konteks pertanian organik. Selain itu, peserta juga diperkenalkan dengan konsep ekologi tanah, termasuk sifat-sifat dasar yang dimiliki oleh tanah.
Hari kedua berfokus pada sifat fisik tanah, seperti tekstur, porositas, kapilaritas, dan aerasi tanah. Peserta melakukan berbagai praktik, seperti menghitung persentase kandungan tanah (batuan, pasir, tanah liat, dan humus), menganalisis kebutuhan air tanaman, serta menguji kemampuan tanah dalam menyerap air dan menyediakan oksigen bagi organisme di dalamnya.
Hari ketiga membahas sifat kimia dan biologi tanah. Peserta melakukan uji pH tanah, mengidentifikasi unsur hara, serta mengukur kapasitas tukar kation (KTK). Selain itu, peserta juga mempelajari tiga kelompok utama organisme dalam tanah, yaitu mikroorganisme (bakteri, jamur, virus), mesoorganisme (nematoda), dan makroorganisme (cacing, serangga, akar tanaman).
Hari terakhir ditutup dengan diskusi mengenai unsur hara sebagai nutrisi penting bagi tanaman. Selain itu, peserta menyusun rencana tindak lanjut, yaitu berbagi pengetahuan dengan petani di lembaga dampingan masing-masing dan melaksanakan TOT di wilayah mereka.
Siap Menebar Dampak
Pelatihan ini menanamkan prinsip bahwa prioritas utama dalam pertanian organik adalah menyehatkan tanah terlebih dahulu. Dengan memahami kondisi tanah, petani dan fasilitator dapat menentukan perlakuan yang tepat bagi lahan pertanian mereka. Para peserta TOT diharapkan mampu menjadi fasilitator yang kompeten dalam bidang ekologi tanah, serta dapat menerapkan dan menyebarluaskan ilmu yang telah mereka peroleh di komunitas pertanian masing-masing.
Melalui pelatihan ini, diharapkan semakin banyak petani yang memahami pentingnya ekologi tanah dan mampu menerapkan metode konservasi tanah yang berkelanjutan, sehingga dapat meningkatkan produktivitas pertanian sekaligus menjaga keseimbangan lingkungan.
Di berbagai aspek kehidupan, perempuan memainkan peran penting, baik dalam ranah domestik maupun publik. Namun, mereka sering menghadapi tantangan seperti beban kerja ganda, diskriminasi di lingkungan keluarga, pekerjaan, dan sosial. Untuk membekali perempuan dengan pemahaman yang lebih baik tentang kesetaraan gender, PETRASA mengadakan Pelatihan Perempuan Potensial Serial Pertama pada 13-14 Februari 2025 dengan tema “Gender dan Keadilan Gender”.
Sebanyak 20 perempuan petani dampingan PETRASA mengikuti pelatihan ini. Mereka berdiskusi tentang berbagai topik mendasar, termasuk perspektif dan konsep gender, peran dan pembagian kerja berbasis gender, serta bentuk-bentuk ketidakadilan seperti kekerasan dan diskriminasi berbasis gender. Selain itu, mereka juga mengeksplorasi langkah-langkah untuk mewujudkan keadilan gender di lingkungan mereka.
Salah satu topik utama yang dibahas adalah konsep gender itu sendiri. Gender bukanlah sekadar perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, melainkan konstruksi sosial yang menentukan peran, fungsi, dan tanggung jawab mereka dalam masyarakat. Konsep ini terus berkembang seiring dengan perubahan zaman.
Keadilan gender berarti memberikan perlakuan yang adil kepada laki-laki dan perempuan, memastikan tidak ada lagi pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marjinalisasi, atau kekerasan berbasis gender. Dalam diskusi, para peserta berbagi pengalaman tentang ketimpangan gender yang mereka hadapi, baik di dalam rumah tangga maupun di komunitas mereka.
Antusiasme peserta terlihat dari banyaknya pertanyaan, diskusi aktif, dan refleksi mendalam yang mereka bagikan. Salah satu peserta bercerita tentang bagaimana ia sering merasa terbebani dengan pekerjaan rumah tangga yang tidak terbagi rata dengan suaminya. Ada juga yang mengungkapkan bahwa anak perempuannya sering dibatasi dalam memilih pendidikan atau pekerjaan, sementara anak laki-lakinya lebih didorong untuk mengambil peran-peran tertentu dalam masyarakat.
Melalui pelatihan ini, para peserta menyadari bahwa kesetaraan gender bukan hanya tentang perempuan, tetapi juga tentang keadilan bagi semua orang. Mereka menuliskan harapan agar suami dan anggota keluarga lainnya dapat lebih memahami pentingnya pembagian peran yang setara di rumah. Lebih dari itu, mereka ingin menanamkan nilai-nilai kesetaraan kepada anak-anak mereka agar baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk bersekolah, bekerja, dan berkontribusi dalam kehidupan sosial maupun politik.
Pelatihan ini menjadi langkah awal dalam perjalanan panjang menuju masyarakat yang lebih adil dan setara gender. Dengan kesadaran yang telah dibangun, para perempuan ini kini siap untuk membawa perubahan dalam keluarga dan komunitas mereka.
Sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas pertanian organik dan memperluas jangkauan pemasaran produk, Kios Pangula bersama PETRASA menyelenggarakan program edukasi bertajuk “Manfaat Mengkonsumsi Produk Organik”. Acara ini berhasil menghadirkan Ibu Imelda Purba, Kepala Bidang Kesehatan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi, sebagai narasumber utama. Dalam kesempatan tersebut, beliau membagikan wawasan mendalam mengenai manfaat luar biasa dari konsumsi produk organik bagi kesehatan.
Mengapa Produk Organik Begitu Penting?
Dalam paparannya, Ibu Imelda menyoroti empat alasan utama mengapa produk organik menjadi pilihan yang lebih sehat dan ramah lingkungan:
Minim Paparan Pestisida Sintetis Produk organik diproduksi dengan sedikit atau tanpa penggunaan pestisida sintetis, sehingga mengurangi risiko paparan bahan kimia berbahaya.
Lebih Sedikit Pengawet (Aditif) Dibandingkan dengan produk konvensional, produk organik biasanya mengandung lebih sedikit bahan pengawet, menjadikannya pilihan yang lebih alami.
Ramah Lingkungan Pertanian organik menerapkan konsep pengelolaan tanah yang berkelanjutan, yang tidak hanya menjaga kesuburan tanah tetapi juga mendukung ekosistem lokal.
Biodiversitas Lebih Tinggi Metode pertanian organik mempromosikan keanekaragaman hayati, yang penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Beliau juga menegaskan bahwa konsumsi produk organik dapat membantu menghindari residu kimia berbahaya yang sering ditemukan pada produk non-organik. “Residu kimia adalah salah satu faktor penyebab penyakit serius seperti tumor dan kanker. Oleh karena itu, langkah Petrasa dalam mendorong petani untuk beralih ke pertanian organik patut diapresiasi,” ujar Ibu Imelda dengan penuh semangat.
Interaksi Produsen dan Konsumen: Kunci Meningkatkan Kualitas
Acara ini juga menjadi wadah interaksi langsung antara produsen dan konsumen. Melalui diskusi yang hangat, konsumen memberikan masukan berharga kepada Kios Pangula untuk terus meningkatkan kualitas dan kuantitas produk yang dipasarkan setiap minggunya. Dalam suasana penuh keakraban, mereka saling berbagi pengalaman tentang perjalanan sembilan tahun Kios Pangula dalam memasarkan hasil pertanian berbasis kelestarian alam.
Diskusi ini tidak hanya mempererat hubungan antara produsen dan konsumen, tetapi juga memberikan motivasi baru bagi para petani dampingan PETRASA. Para petani merasa didukung untuk terus menjaga dan meningkatkan kualitas produk organik mereka, yang pada akhirnya membawa manfaat besar bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan.
Komitmen Bersama untuk Masa Depan Lebih Sehat
Dengan semakin tingginya kesadaran akan pentingnya gaya hidup sehat, konsumsi produk organik menjadi solusi yang relevan untuk mendukung kesehatan individu sekaligus menjaga kelestarian alam. Inisiatif seperti edukasi ini menjadi bukti nyata bahwa kolaborasi antara berbagai pihak dapat menciptakan dampak positif yang berkelanjutan.
Kios Pangula dan PETRASA mengajak seluruh masyarakat untuk bergabung dalam gerakan ini. Dengan memilih produk organik, kita tidak hanya berkontribusi pada kesehatan diri sendiri, tetapi juga pada keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan petani lokal. Mari bersama-sama membangun masa depan yang lebih sehat dan harmonis dengan alam!