Peraturan Daerah No 3 Tahun 2018 tentang Badan Permusyawaratan Desa sudah ditetapkan di Sidikalang pada 4 Desember 2018. Perda ini berisikan 11 (Sebelas) Bab dan 68 (enam puluh delapan) pasal. Sebelumnya perda yang digunakan didairi tentang pedoman pembentukan badan permusyawarahan desa adalah Perda No 14 tahun 2006 namun ditimbang sudah tidak sesuai lagi dengan UU No 6 tahun 2014 tentang Desa.
Pengaturan BPD dalam peraturan Daerah ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap BPD sebagai lembaga di Desa yang melaksanakan fungsi pemerintahan Desa.
Pengaturan BPD bertujuan untuk :
Mempertegas peran BPD dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
Mendorong BPD agar mampu menampung menyalurkan aspirasi masyarakat Desa ; dan
Mendorong BPD dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik di Desa.
Namun hampir dua tahun implementasi Perda ini, sangat disayangkan sosialisasi penerapannya masih dianggap belum maksimal. Beberapa desa di Kabupaten Dairi yang sudah melakukan pemilihan BPD menerapkan teknis dan system yang berbeda-beda. Bahkan dinilai, ada yang melanggar isi dari Perda No 3 tadi. Kabid Pengelolaan Keuangan Desa Edison Silalahi dan Bagian Administrasi Umum br Bancin menyampaikan beberapa aduan juga sudah diterima oleh DISPEMDES tentang pemilihan BPD yang dinilai tidak sesuai dengan Perda No 3 thn 2018. Mereka mengakui kurangnya sosialisasi Perda ini karena kurangnya anggaran. Sungguh disayangkan apabila BPD yang terpilih tidak bekerja sesuai harapan masyarakat, dimana BPD tidak lagi menyerap dan menampung aspirasi Masyarakat, melaksanakan pengawasan terhadap kinerja Kepala Desa serta melakukan 11 tugas lainnya sesuai dengan Pasal 31 Perda No 3 tahun 2018.
Pada 28/2/2020, Divisi Advokasi Yayasan Petrasa (Duat Sihombing – Boy Hutagalung) dan Wakil Ketua PPODA (Parlindungan Tambunan) melakukan diskusi dengan Dispemdes terkait Perda yang mengatur BPD tersebut. Duat Sihombing selaku Kepala Divisi Advokasi Petrasa menyampaikan, ada beberapa penafsiran yang berbeda tentang perda ini, baik dari pihak Kecamatan maupun dari Panitia pemilihan BPD. “Kita bisa bersinergi untuk mensosialisasikan perda no 3, jadi setidaknya tidak ada penafsiran yang melenceng soal peraturan daerah ini”, Pungkasnya. Parlindungan Tambunan juga menambahkan, bahwa teknis pemilihan BPD yang terjadi didesanya sedikit membingungkan. Ada beberapa pasal yang dilanggar dalam pemilihan BPD didesa mereka, namun pemilihan tetap dilanjutkan dan menghasilkan 5 orang BPD terpilih. “Hingga saat ini masyarakat didesa saya belum tau secara pasti teknis dari pemilihan BPD” , tuturnya.
Diskusi hari ini membuahkan hasil, Dispemdes bersedia memberikan sosialisasi kepada masyarakat terkusus dampingan Petrasa yang terdapat pada 78 desa yang tersebar pada 12 kecamatan dikabupaten Dairi. Rencana kegiatan akan dilakukan pada Maret 2020. Harapan Petrasa sebagai lembaga NGO pendamping masyarakat, agar peraturan yang dibuat oleh pemerintah betul-betul dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat.
Petani adalah tulang punggung pangan dunia. Bila tidak ada petani, tidak ada bahan pokok makanan. Akan tetapi, dalam masyarakat umum, petani dianggap sebagai profesi yang miskin dan rendah. Tampilan para petani yang bekerja keras, yang tiap hari memegang cangkul, dengan pakaian kumal, kotor dan sandal jepit semakin tegas bila melihat tingkat kesejahteraan para petani yang tergolong minim. Bila ada satu atau dua orang petani yang sukses, paling hebat hanya disebut sebagai “petani berdasi”. Sebutan itu tidak lantas mengubah pola pikir negatif tentang petani yang sudah berkembang sejak lama dalam masyarakat.
Pola pikir ini lambat laun tertanam dalam benak pemuda-pemudi Indonesia. Para pemuda di Indonesia berpikir bahwa profesi petani adalah pekerjaan yang tidak memiliki masa depan, rendahan, dan miskin. Sehingga, setelah lulus sekolah, para pemuda berlomba-lomba merantau ke kota besar untuk mendapatkan pekerjaan yang dianggap lebih baik. Jika cukup beruntung, mereka yang memiliki pendidikan cukup baik bisa bekerja dengan baik pula. Mereka yang tidak, harus kenyang dengan pekerjaan kasar atau buruh di kota. Bahkan khusus mereka yang menjadi sarjana pertanian, lebih banyak yang memilih untuk tidak bekerja di bidang pertanian.
Saat ini Indonesia sedang krisis petani muda. Menurut survey pertanian yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik pada 2013 lalu, dari total 26.135.469 petani yang saat itu terdata, hanya sekitar 3.129.644 orang petani yang berada di usia 25-35 tahun. Sisanya adalah petani kelompok usia 45-54 tahun yang berjumlah sekitar 7 juta orang, dan petani kelompok udia 35-44 tahun yang berkisar 6 juta orang.
Di sisi lain, meski menurun 5.33% dari tahun 2017, tingkat pengangguran di Indonesia masih cukup tinggi, sekitar 7,01 juta orang. Data ini menunjukkan perlunya regenerasi petani di Indonesia yang juga bisa membantu mengurangi angka pengangguran di Indonesia.
Menjawab tantangan ini, Yayasan PETRASA pun melaksanakan pelatihan untuk pemuda-pemudi dari desa dampingan di Kabupaten Dairi. Pelatihan dengan tajuk “Pemuda-Pemudi Berani Bertani” ingin menyadarkan para pemuda tentang pentingnya profesi petani. Pelatihan ini juga ingin membuka pikiran para pemuda desa bahwa masa depan sesungguhnya ada di desa.
Pelatihan ini berlangsung dari 17- 20 September 2018. Selama empat hari, mereka mendapat pelatihan teori dan praktik tentang pertanian selaras alam dan peternakan terpadu. Mereka belajar manfaat bertani selaras alam dan belajar membuat sendiri pupuk bokashi dan pestisida nabati.
Peserta berjumlah 14 orang dan berasal dari desa-desa dampingan Petrasa di Kabupaten Dairi. Beberapa diantara mereka adalah anak dari para petani dampingan PETRASA. Orangtua mereka juga ingin anak mereka mau, aktif dan serius bertani selaras alam. Salah satu pemuda yang mengikuti pelatihan ini masih berusia 18 tahun. Jexen Sihombing baru saja menyelesaikan SMA dan memutuskan untuk ikut pelatihan pemuda berani bertani.
“Saya dapat ilmu baru dan saya mulai berpikir untuk menjadi peternak babi dengan serius. Kalau usaha ini sukses, saya tidak usah lagi merantau,”ungkapnya disela-sela sesi istirahat.
Para pemuda mengikuti pelatihan dengan beragam metode. Mereka diminta untuk membentuk kelompok dan mendiskusikan hal-hal apa saja yang menjadi ketakutan mereka jika ingin bertani. Mereka juga diminta untuk menuliskan harapan mereka setelah mengikuti pelatihan petani muda ini. Para pemuda juga diajak aktif membuat analisis usaha tani sebagai bekal dalam memulai usaha pertanian atau peternakan.
Pada hari terakhir, para petani muda ini berangkat ke Siantar untuk orientasi langsung di lahan pertanian dan peternakan milik Togu Simorangkir. Ia memiliki ternak bebek, ternak lele, dan mengelola sendiri lahan pertanian organiknya. Ia juga adalah salah satu tokoh inspiratif dalam membangun desa di Sumatera Utara yang juga aktif membuat gerakan sosial melalui Yayasan Alusi Tao Toba.
PETRASA berharap para petani yang sudah diberikan pelatihan sedemikian rupa bisa percaya diri mengambil keputusan menjadi petani atau peternak yang menerapkan prinsip-prinsip pertanian selaras alam. Pemuda-pemuda ini diharapkan dapat pulang ke desa masing-masing dengan pandangan baru bahwa menjadi petani bukanlah pekerjaan yang rendah dan miskin. PETRASA sebagai lembaga yang peduli terhadap kesejahteraan petani dan masa depan petani melihat program sebagai bentuk kaderisasi petani muda yang berkompeten dalam membudidayakan pertanian maupun peternakan. Kedepannya akan lebih banyak pemuda yang memilih profesi petani sebagai pekerjaan yang mulia dan punya prospek yang cerah dihari depannya.
Dalam banyak kesempatan, PETRASA terus berusaha mendorong kesejahteraan para petani kecil di desa. Untuk mewujudkannya, PETRASA senantiasa membuka sebanyak mungkin ruang dan jalan. Salah satunya adalah dengan melaksanakan diskusi perangkat desa yang sejalan dengan salah satu program prioritas Nawacita Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada butir ketiga yakni “Membangun Indonesia dari Pinggiran”.
PETRASA meyakini akan ada dampak besar bagi kehidupan para petani di desa bila program ini berjalan dengan baik. Dengan kata lain, kesejahteraan para petani di desa akan semakin baik bila pembangunan desa mandiri berhasil. PETRASA pun berinisiatif untuk mempertemukan seluruh perangkat desa di Kecamatan Lae Parira dan di Kecamatan Sumbul dengan Kepala Bidang Pembangunan dan Keuangan Desa dan Tenaga Ahli Pendamping Desa Kabupaten Dairi. Pertemuan ini adalah sebuah kegiatan peningkatan kapasitas bagi perangkat desa dalam rangka meningkatkan kinerja mereka sesuai dengan implementasi UU Desa No.6 Tahun 2014.
Diskusi Perangkat Desa di Kecamatan Lae Parira
Pada Senin (23/7/2018) lalu, PETRASA melaksanakan diskusi dengan perangkat desa di Aula Kantor Kecamatan Lae Parira. Ada sekitar 70 orang perangkat desa yang hadir mewakili sembilan desa di Kecamatan Lae Parira. Kesembilan desa itu adalah Desa Bulu Diri, Desa Kaban Julu, Desa Kentara, Desa Lae Parira, Desa Lumban Sihite, Desa Lumban Toruan, Desa Pandiangan, Desa Sempung Polling, dan Desa Sumbul.
Pada kesempatan tersebut, hadir pula Camat Lae Parira, Edison Siringringo, yang mengarahkan para perangkat desa yang hadir untuk mengambil ilmu sebanyak-banyaknya dari para narasumber demi peningkatan dan perbaikan kinerja mereka.
Diskusi dibagi ke dalam dua sesi. Sesi pertama yang dimulai pada pukul 10.10 WIB menghadirkan Edison Silalahi selaku Kepala Bidang Pembangunan dan Keuangan Desa Kabupaten Dairi. Beliau menjelaskan dasar-dasar hukum yang mengatur posisi, tugas, dan fungsi perangkat desa. Dengan rinci, beliau juga menjabarkan tugas dan fungsi dari setiap perangkat desa mulai dari Sekretaris Desa hingga Kaur per Bidang.
Dalam penjelasannya, Bapak Edison Silalahi menyoroti rendahnya kinerja perangkat desa disebabkan oleh pemahaman perangkat desa yang rendah pada tugas mereka masing-masing. Kebanyakan dari mereka belum tahu sejauh mana tugas dan fungsi mereka salah satunya dalam penyusunan anggaran dana desa. Juga masih banyak desa yang belum memiliki data-data umum seperti profil desa, jumlah penduduk desa, dan data penting lainnya. Kekurangan ini menyebabkan banyak program pembangunan di desa mandek. Tidak hanya itu, program bantuan pemerintah lainnya pun sering kali menjadi tidak tepat sasaran.
Untuk memberi penjelasan yang bersifat teknis kepada perangkat desa, PETRASA juga menghadirkan Tenaga Ahli Pendamping Desa Kabupaten Dairi, yaitu Bapak P. Sinaga dan Ibu M. br Siahaan. Kedua tenaga ahli ini menjelaskan peran mereka kepada perangkat desa sebagai pembimbing dalam segala hal yang berurusan dengan program kerja desa. Mereka menekankan pentingnya kerjasama yang progresif dari perangkat desa. Sebab desa sekarang didorong untuk mandiri dengan memberdayakan apa yang ada di desanya.
“Kami di sini mendampingi desa sampai desa mandiri dalam menjalankan tugas-tugasnya. Setelah itu kami akan lepas karena kami percaya desa sudah bisa jalan sendiri,” jelas Ibu M. br Siahaan kepada perangkat desa.
Perangkat desa yang hadir menyimak penjelasan para narasumber dengan seksama. Meski demikian, mereka belum menunjukkan antusiasme yang tinggi untuk membahas permasalahan desa yang mereka hadapi. Hal ini terlihat dari sedikitnya perangkat desa yang bertanya kepada para narasumber.
Satu-satunya pertanyaan datang dari Ronald Pane, Kaur Keuangan dari Desa Lae Parira. Ia meminta saran kepada narasumber tentang pentingnya memilih TPK (Tim Pengelola Kegiatan) berdasarkan kemampuan mengerjakan tugas. Ia mengeluhkan seringnya TPK yang terpilih harus dari Kasi Perencanaan Keuangan yang tidak mampu mengerjakan tugasnya.Akhirnya sering program yang sudah direncanakan tidak berjalan dengan seharusnya.
Hal ini ditanggapi langsung oleh pendamping desa. Ia menekankan pemilihan TPK harus sesuai dengan tugas dan fungsi yang ada dalam peraturan dan yang paling penting mampu mengerjakan tugas, karena itulah semua perangkat desa perlu selalu meningkatkan kemampuan dalam mengerjakan tupoksi di masing-masing bidang.
Diskusi ini berakhir pada pukul 15.00 WIB dengan foto bersama seluruh peserta. PETRASA berharap diskusi ini akan menambah kapasitas perangkat desa dalam melakukan berbagai tugasnya dalam mendukung terwujudnya desa yang sejahtera dan mandiri.
Diskusi Perangkat Desa di Kecamatan Sumbul
Kegiatan serupa juga dilaksanakan di Kecamatan Sumbul pada Kamis (26/7/2018) lalu. PETRASA yang bekerja sama dengan Camat Sumbul mengundang 19 desa untuk hadir dalam diskusi perangkat desa yang bertempat di Aula Kantor Camat Sumbul.
Kegiatan dihadiri oleh sekitar 144 orang dari 19 desa di Kecamatan Sumbul. Melihat antusiasme yang tinggi, Camat Sumbul Tikki Simamora mengajak para perangkat desa untuk benar-benar memanfaatkan diskusi ini untuk membenahi masalah di desa masing-masing.
Beliau menyoroti beberapa masalah yang sering ditemukan di desa. Salah satu masalah yang menjadi perhatiannya adalah proses kerja yang lambat di desa. Beliau sering menjumpai warga desa justru datang ke kantor Camat untuk mengurus satu surat yang seharusnya menjadi pekerjaan kantor desa.
Masih dengan materi dan narasumber yang sama, Edison Sihombing, Kepala Bidang Pemberdayaan dan Keuangan Desa Kabupaten Dairi kembali menjelaskan materi penting mengenai tugas dan fungsi perangkat desa. Ia juga menambahkan delapan etos kerja yang penting bagi perangkat desa. Salah satunya adalah dengan menekankan nilai amanah dalam bekerja.
Beliau mengingatkan para perangkat desa untuk melayani masyarakat dengan setulus hati sebab masyarakat desalah yang telah memilih dan mengizinkan mereka untuk bekerja sebagai perangkat desa. Niscaya etos kerja ini akan memberi dampak yang lebih baik bagi kinerja para perangkat desa.
Dalam sesi ini, seorang peserta yang adalah Sekretaris Desa Pegagan Julu VII, Charles Sihombing pun mengajukan pertanyaan. Ia bertanya perihal penggunaan dana desa untuk membangun kantor desa yang sudah tidak layak huni. Menurut Bapak Edison, pembangunan kantor desa masuk dalam kategori prioritas pembangunan infrastruktur desa. Namun anggarannya hanya bisa digunakan dari Anggaran Dana Desa yang diturunkan dari APBD Kabupaten.
Dalam kesempatan itu, PETRASA pun memberikan cinderamata berupa Sidikalang Arabica Coffee, produk olahan home industry petani kopi Arabika dari Dusun Lae Pinagar, Desa Perjuangan, Sumbul. Dengan memperkenalkan kopi tersebut, PETRASA ikut mengajak para perangkat desa untuk membenahi desa masing-masing demi membantu kesejahteraan warga desa terutama petani-petani kecil.
Sejalan dengan harapan Camat Lae Parira dan Sumbul, PETRASA ingin diskusi ini menjadi pembaharuan ilmu dan meningkatkan kesadaran para perangkat desa tentang pentingnya peran mereka dalam membangun Indonesia dari pinggiran. Desa tidak lagi menjadi objek pembangunan melainkan subjek pembangunan. Perangkat desa harus bersama-sama memetakan masalah desanya dan bermusyawarah menciptakan program yang tepat sasaran untuk kemajuan desa.