“78 tahun Indonesia Merdeka, Apakah arti merdeka? Merdeka adalah ketika negara tidak memberikan izin kepada Perusahaan Perusak Lingkungan. #TolakPTDPM #TolakPTGruti”, kalimat ini menjadi muatan spanduk yang dibentangkan oleh APUK di Desa Sileuh-leuh Parsaoran tepatnya di lahan yang sebelumnya dirusak oleh PT. Gruti pada tahun 2020 lalu. Aksi ratusan petani ini menjadi wujud dari kekecewaan atas kebijakan pemerintah yang dianggap membahayakan ruang hidup banyak orang.
Memperingati hari kemerdekaan ke-78 tahun Republik Indonesia, warga Dairi di Desa Sileu-leu Parsaoran yang tergabung dalam APUK (Aliansi Petani Untuk Keadilan) mengajak masyarakat untuk lebih menghargai lingkungan sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari manusia. Walaupun disisi lain, pemerintah malah membuka gerbang luas kepada perusahaan dan akan mengundang bencana baru di Kabupaten Dairi. “sudah 78 tahun Indonesia (merdeka) ternyata masih banyak rakyat yang belum merdeka, ini lah kami yang belum merdeka karena ruang hidup kami dirampas oleh perusahan perusakan lingkungan baik PT DPM dan PT Gruti” sesal Dormaida br Sihotang salah satu orator pada aksi ini.
Menjadi sangat penting untuk kita melihat kembali bagaimana kecintaan terhadap pertanian itu kian berkurang. Salah satunya adalah sebab-akibat hegemoni negara dengan tata cara pengkawasan hutan, masih mirip sejak penjajahan belanda, jepang, pasca kemerdekaan, orba hingga sekarang. Puluhan tahun bahkan ratusan tahun, sang petani sudah mengelola tanah-tanah pertanian dan menjaga ketahanan pangan di negara ini. Namun demi yang disebut pembangunan, tanah petani disegel plang kehutanan, diperuntukkan untuk membangun pabrik-pabrik penggerus sumber daya alam. Terlalu banyak tanah, hutan diperuntukkan kepada investor, sementara rakyat terkhusus petani akan mendapat sanksi berat ketika mengelola lahan mereka yang negara sebut sebagai hutan negara.
APUK melihat, pemberian izin-izin konsesi oleh negara justru cikal-bakal kerusakan ekologis secara besar-besaran. Kerusakan sumber daya hutan tidak hanya akan menimbulkan kerugian ekologis namun juga kerusakan sosial dan budaya, termasuk pembatasan akses dan penggusuran hak-hak masyarakat serta munculnya konflik-konflik atas pemanfaatan sumber daya hutan di daerah. Kerusakan tersebut sebenarnya terjadi bukan semata-mata karena faktor kepadatan penduduk, rendahnya tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat, yang cenderung dikaitkan dengan kehidupan masyarakat di dan sekitar hutan yang memiliki tradisi perladangan berpindah. Tetapi, kerusakan sumber daya hutan justru terjadi karena pilihan paradigma pembangunan yang berbasis negara. Pembangunan yang bercorak sentralistik dan semata-mata berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, yang didukung dengan instrumen hukum dan kebijakan yang bercorak represif.
Mari kita lihat lebih dekat, kabupaten Dairi, Sumatera utara. Portal.dairikab.go.id menyebutkan, luas Kab. Dairi adalah 191.625 Hektar. Dibalik data tersebut, pemerintah memberikan izin kepada 2 perusahaan besar yakni PT. DPM seluas 24.636 hektar dan PT. GRUTI seluas 8.085 Hektar. Berarti kedua perusahaan tersebut sudah mengkapling 32.721 hektar atau sekitar 17,07% persen dari luas Kabupaten Dairi. Ini artinya pemerintah secara sadar mengundang bencana di kabupaten Dairi karena kedua perusahaan tersebut betul berada pada daerah-daerah penyanggah hidup ribuan masyarakat Dairi.
Hal lain yang juga menjadi sorotan anggota APUK adalah dampak perubahan iklim yang sudah semakin mengkuatirkan petani di kabupaten Dairi. Sulitnya memprediksi musim, munculnya berbagai hama dan penyakit baru pada tanaman, musim kemarau dan hujan yang semakin panjang, meningkatnya frekuensi bencana alam seperti hujan es dan angin puting beliung, suhu yang semakin panas dan berbagai dampak lainnya menyebabkan turunnya produktivitas pertanian dan pendapatan petani. Namun situasi kritis itu belum mendapat respon serius dari pemerintah. Komitmen penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 % pada tahun 2030 yang dituangkan dalam National Determine Contribution (NDC) tidak selaras dengan kebijakan pembangunan nasional.
Ada lima kategori sektor dan proporsi kontribusinya dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca sejumlah 29% dengan usaha sendiri terdiri dari sektor kehutanan (17.2%), energi (11%), pertanian (0.32%), industri (0.10%), dan limbah (0.38%). Kontribusi dari sektor kehutanan sebesar 17,2 % patut dipertanyakan mengingat kebijakan investasi yang masih memberikan ruang yang sangat besar dalam pengelolaan dan pengrusakan hutan. Padahal hutan adalah konsumen terbaik karbondioksida sebagai upaya mitigasi dampak perubahan iklim yang sangat efektif. Harusnya pemerintah berupaya semaksimal mungkin menekan laju deforestasi agar target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030 tidak hanya sebatas wacana.
Pemberian izin pengelolaan hutan kepada perusahaan justru sebaliknya akan meningkatkan produksi gas rumah kaca dan ini kontra dengan komitmen pemerintah Indonesia di mata dunia Internasional sebagai anggota Perjanjian Paris dan Conference of Parties (COP). Sebaliknya upaya anggota APUK dalam mempertahankan tanah, hutan dan sumber daya alam patut diapresiasi karena itu adalah peran yang sangat signifikan dalam mengurangi laju deforestasi sehingga berkontribusi terhadap penurunan gas rumah kaca. Aksi bentang spanduk ini sebagai bentuk solidaritas anggota APUK dalam mempertahankan tanah dan hutan mereka dari potensi kerusakan oleh PT DPM dan PT GRUTI.. Aksi hari ini adalah upaya untuk menyelamatkan lingkungan, sumber daya alam dan keberlanjutan hidup masyarakat luas dari dampak perubahan iklim yang semakin mengkuatirkan.
Pemerintah Kabupaten Dairi juga harus lebih serius menanggapi situasi ini dengan bercermin atau belajar dari pengalaman daerah lain yang hancur karena kehadiran perusak lingkungan seperti Lapindo Di Sidoarjo atau Indorayon (sekarang TPL) dan kasus lainnya. Sebab kita harus mewariskan mata air kepada anak cucu bukan air mata.
Merdeka…..!!!