Jakarta, 15 Februari – Perjalanan warga Dairi, Sumatera Utara yang berpotensi terkena dampak pertambangan PT. Dairi Prima Mineral (DPM) untuk mempertahankan ruang hidupnya masih panjang. Sebelumnya, perwakilan warga Dairi melakukan audiensi bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rabu (24/8) silam agar tidak memberikan persetujuan lingkungan kepada PT DPM, perusahaan timah dan seng, untuk membongkar perut bumi dengan sistem penambangan bawah tanah.
Meski demikian, KLHK telah menerbitkan SK Menteri LHK Nomor: 854/MENLHK/SETJEN/PLA.4/8/2022 tentang Persetujuan Lingkungan atau “Kelayakan Lingkungan Hidup Kegiatan Pertambangan Seng dan Timbal di Kecamatan Silima Punga-Pungga, Kab. Dairi, Prov. Sumatera Utara oleh PT. Dairi Prima Mineral” pada Kamis (11/8) silam. Sementara warga Dairi mengetahui persetujuan lingkungan sudah diterbitkan setelah menerima undangan dari Pemerintah Kabupaten Dairi untuk sosialisasi SK Menteri LHK tersebut, Jumat (18/11). “Keputusan KLHK mengeluarkan persetujuan lingkungan PT. DPM tersebut sangat melukai perasaan kami, bagaimana mungkin Ibu Menteri mengeluarkan persetujuan kepada perusahaan dan menjadikan nyawa kami sebagai taruhannya. Kami sebagai warga Dairi merasa telah dibohongi atas apa yang dilakukan oleh pemerintah hari ini yang cenderung berpihak kepada perusahaan. Meskipun persetujuan lingkungan sudah dikeluarkan, kami meminta agar itu dicabut. Karena tidak layak tambang beroperasi di wilayah pertanian yang telah lama kami kerjakan dari generasi ke generasi dan telah memberikan kami kehidupan” Pungkas Rainim Purba.
Warga menolak keras kehadiran PT DPM karena kekhawatiran bencana jika perusahaan tersebut beroperasi, pasalnya dalam peta rawan bencana Kabupaten Dairi berada di zona merah yang berstatus “RAWAN BENCANA”. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kab. Dairi juga mengatakan, Kabupaten Dairi telah memiliki status “SWALAYAN BENCANA” sebab segala jenis bencana sudah pernah terjadi dan mempunyai ancaman yang nyata. Bukan menakut-nakuti warga tapi faktanya kabupaten Dairi sendiri dilalui tiga jalur patahan gempa yakni patahan Toru, Renun dan Angkola.
“Desember 2018 terjadi banjir bandang di desa kami Bongkaras yang merenggut tujuh orang korban meninggal dunia, dua korban tidak ditemukan jenazahnya sampai sekarang. Gempa sepersekian detik belakangan juga semakin sering kami rasakan, ini sangat membuat perasaan kami takut dan membuat tidur tak nyenyak” Ujar Barisman Hasugian.
Pakar hidrologi internasional Steve Emerman dan ahli bendungan Richard Meehan yang mengkaji keberadaan tambang DPM di Dairi menyatakan, rencana pertambangan yang diusulkan tidaklah tepat sebab lokasi tambang berada di hulu desa, di atas tanah yang tidak stabil, serta di lokasi gempa tertinggi di dunia tampak mengundang bencana.
Sejalan dengan pendapat kedua ahli tersebut, pada Juni 2022 Compliance Advisor Ombudsman (CAO) World Bank mengeluarkan laporan berdasarkan pengaduan yang dilakukan warga Dairi pada Oktober 2019 lalu. Dalam laporan CAO disebutkan tambang yang direncanakan oleh PT DPM memiliki kombinasi resiko yang tinggi karena beberapa faktor. Salah satunya adalah terkait pembangunan bendungan limbah yang diusulkan oleh perusahaan tidak sesuai dengan standar internasional.
Meski warga Dairi sudah berulang kali menyurati KLHK untuk mendapatkan salinan dokumen persetujuan lingkungan dan adendum ANDAL yang telah diterbitkan oleh KLHK hingga melaksanakan konferensi pers, warga belum mendapatkan salinan dokumen tersebut. Selain menyurati KLHK saat ini masyarakat sudah membuat pengaduan ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) atas dugaan maladministrasi yang dilakukan KLHK oleh masyarakat telah diterima dan sudah pada tahap verifikasi laporan.
Perjuangan masyarakat juga mendapat dukungan dari Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di nasional yakni JATAMNAS, Trend Asia, Bersihkan Indonesia, Sajogyo Institute dan JKLPK Indonesia bersama dengan SEKBER Tolak Tambang akan mengawal KLHK untuk segera mencabut persetujuan lingkungan DPM.