Merespon Dampak Perubahan IklimMelalui Strategi Adaptasi dan Mitigasi


Perubahan iklim menjadi isu global yang dibicarakan hampir di seluruh pelosok dunia. Tidak tanggung-tanggung isu perubahan iklim menjadi salah satu agenda penting dalam pertemuan multilateral seperti dalam Paris Agreemen, Conference of The Parties (COP) dan pertemuan international lainnya bahkan yang terbaru di Bali isu perubahan ikilm menjadi salah satu agenda G20.

Menajamnya isu Perubahan iklim bukan tanpa dasar. Tanpa terkecuali semua negara sudah merasakan dampaknya. Naiknya suhu udara, cuaca ekstrem, naiknya permukaan air laut, munculnya berbagai hama dan penyakit, mencairnya es yang ada di kutub utara, kemarau berkepanjangan, banjir dan berbagai dampak perubahan iklim lainnya sudah berada pada kondisi yang mengkwatirkan. Bahkan beberapa daerah dibelahan dunia khususnya daerah pesisir pantai sudah terdampak parah dan terpaksa mengungsi karena tempat tinggal dan lahan pertanian hilang tanpa bekas ditelan air laut yang naik akibat mencairnya es di kutub utara.

Ada beberapa hal yang menarik yang menjadi stressing dalam pertemuan international tersebut antara lain :

1. Berupaya membatasi kenaikan suhu global sampai di angka minimum 1,5º Celcius, dan di bawah 2º Celcius untuk tingkat praindustri.

2. Mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca dan aktivitas serupa, guna meminimalkan emisi gas serta mencapai target emisi net zero atau nol bersih.

3. Seluruh negara wajib memiliki dan menetapkan target pengurangan emisinya. Target ini akan ditinjau tiap lima tahun sekali, agar meningkatkan ambisi pengentasan perubahan iklim.

4. Negara maju membantu negara miskin dalam pendanaan atau pembiayaan iklim, mendukung implementasi energi terbarukan yang lebih efektif, serta beradaptasi dengan perubahan iklim.

Komitmen masing-masing negara dikenal dengan istilah National Determined Contribution (NDC). Indonesia yang juga turut ambil bagian menjadi anggota juga sudah menuangkan komitmennya dalam bentuk NDC antara lain berkomitmen untuk mengurangi 29% emisi gas rumah kacanya tanpa syarat terhadap skenario business as usual pada tahun 2030 dan meningkatkan kontribusinya hingga 41% pengurangan emisi pada tahun 2030, bergantung pada ketersediaan dukungan internasional untuk keuangan, transfer teknologi dan pengembangan serta peningkatan kapasitas.”

Terlepas dari berbagai keputusan politik negara-negara, dampak perubahan iklim sangat dirasakan oleh masyarakat luas. Namun sesungguhnya masyarakat kecillah yang paling merasakan dampak perubahan iklim. Petani dan nelayan adalah masyarakat terdampak paling parah. Nelayan kehilangan mata pencaharian karena sulit melaut disebabkan ombak dan angin kencang dan tidak sedikit yang mulai beralih profesi karena dampak cuaca ekstrem. Dampak bagi petani bisa juga tidak kalah parahnya. Berdasarkan pelatihan PACDR yang dilakukan Petrasa beberapa bulan lalu bersama petani dampingan dampak yang dirasakan petani antara lain : naiknya suhu udara, cuaca ekstrim dimana musim kemarau dan hujan semakin panjang, sulitnya memprediksi musim, munculnya hama dan penyakit, angin puting beliung dan hujan es.

Dampak tersebut sangat berpengaruh terhadap produktifitas pertanian dan juga pendapatan keluarga. Ketimpangan dalam menerima dampak perubahan iklim itu yang disebut climate apartheid dimana orang-orang penghasil emisi karbon terbesar mendapatkan dampak paling kecil sementara penghasil karbon terkecil justru mendapatkan dampak paling besar. Oleh karena itu isu climate justice semakin menguat termasuk BfdW yang menggunakan motto one world, one climate, one future, together for climate justice. Ketidakadilan itu yang mendorong negara-negara berkembang yang terdampak parah menyuarakan dalam perjanjian internasional agar negara-negara maju pengahasil emisi karbon terbesar seperti amerika, rusia, cina, jerman untuk mengalokasikan dana adaptasi untuk negara-negara berkembang seperti Bangladesh, India, Philipina, Indonesia sebagai subsidi atas karbon yang mereka hasilkan.

Sebagai Lembaga yang mendampingi petani, Petrasa juga sudah menjadikan isu perubahan iklim menjadi mainstreaming dalam setiap program. Petani perlu meningkatkan ketahanan untuk mengurangi kerentanan terhadap dampak perubahan iklim. Ada 2 hal yang perlu dikembangkan yaitu strategi adaptasi dan mitigasi. Adaptasi adalah sistem pertanian yang menyesuaikan terhadap dampak perubahan iklim sedangkan mitigasi adalah strategi yang dilakukan sebagai kontribusi terhadap pengurangan emisi karbon. Petrasa sendiri sudah mengembangkan beberapa strategi adaptasi pertanian terhadap perubahan iklim. Penggunaan pohon pelindung pada tanaman kopi, intercropping system seperti kopi dengan lebah, padi dengan ikan mas, pengunaan rorak, penggunaan pupuk dan pestisida nabati. Walaupun harus diakui masih banyak strategi adaptasi lain yang masih harus dikembangkan untuk mengurangi kerentanan petani terhadap dampak perubahan iklim. Sedangkan untuk aspek mitigasi selain dari perlakuan pertanian, gerakan advokasi dalam mempertahankan hak atas tanah, lingkungan dan hutan juga adalah bentuk aksi mitigasi terhadap perubahan iklim. Kurangnya laju deforestasi akan sangat berdampak terhadap pengurangan emisi gas karbon karena pohon adalah konsumsi gas karbon yang paling efisien dan efektif . Demikian juga dalam konteks pemasaran, penggunaan isu perubahan iklim dalam melakukan pendekatan kepada konsumen adalah bagian dari mitigasi yang berdampak terhadap pengurangan emisi karbon.

Setiap orang menghasilkan emisi gas karbon dan semua orang diharapkan bisa berkontribusi terhadap pengurangan emisi karbon dan itu bisa kita mulai dari hal yang paling kecil. Oleh karena itu sangat penting untuk memahami apa yang Namanya jejak karbon atau carbon footprint. Jejak karbon (Carbon Footprint) adalah jumlah karbon atau gas rumah kaca yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia dalam kurun waktu tertentu. Jejak karbon merupakan suatu instrumen penting dalam mengukur kontribusi individu, komunitas, industri, produk, dan lainnya terhadap perubahan iklim. Dengan menghitung jejak karbon, suatu industri dapat mengetahui sumber emisinya dan dapat meminimalkan penggunaannya sejak dini.

Tools ini juga dapat kita gunakan untuk diri kita sendiri. Memulai dengan hal yang paling kecil seperti mengurangi penggunaan plastik, mematikan lampu saat tidak digunakan dan hal kecil lainnya. Semua apa yang kita lakukan muaranya adalah menyelematkan bumi dari dampak perubahan iklim yang semakin mengkwatirkan.