Mangula – Siboan Sangap


Biji kopi disusun berbaris sejajar dengan bagian punggung benih menghadap keatas di lahan penyamaian yang sudah diguris sedalam satu sentimeter. Jaraknya sekitar dua kali dua sentimeter antara biji kopi yang satu dengan yang lain. Setelah itu ditutup dengan campuran tanah dan pasir. Kembali KTB menyemaikan kopi arabika di lahan pembibitan sebanyak 5 kg.

Sebelumnya, semai kopi berumur dua bulan sudah dipindahkan dipolybag. Lebih 2000 batang bibit kopi berdaun dua pasang tersebut menghijaui pembibitan ini. Bokashi, pesnab dan zpt kebutuhan pembibitan ini juga sudah disiapkan diawal. Harapannya, Bibit kopi arabika milik KTB ini dibudidayakan dengan Pertanian Selaras Alam atau seminimal mungkin tidak menggunakan pupuk kimia sebagai wujud dari prinsip merawat alam.

Terdengar cerita petani KTB tentang bagaimana hasil pertanian dapat menyekolahkan anaknya hingga bisa menjadi sijujung baringin (pembawa harapan keluarga). Tagogoi ma manuan, mangula, tapasikkola ianokkonta satimbo-timbona, anggiat boi haduan ianakkon ta on siboan sangap (mari menaman dan mengandalkan pertanian, sekolahkan anak setinggi-tingginya, hingga anak-anak kita nantinya bisa membawa kehormatan bagi kita).

Selain sebagai lahan pembibitan, dilahan ini anggota KTB juga membangun diskusi berbagai topik mulai dari isu pertanian, sosial, politik, budaya dan isu lain yang berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat di Desa Sileuh-leuh Parsaoran untuk mempererat solidaritas dan mencari solusi bersama terkhusus masalah-masalah dipertanian mereka. Tak lupa Pembibitan kopi yang sudah dibangun sejak Mei 2022 lalu ini dikerjakan dengan marsiruppa (bergotong-royong).

Sambil marnonang (mengobrol) petani KTB mempersiapkan lahan dan meletakkan benih-benih kopi dipenyemaian. Terlihat beberapa orang anak bermain berperan seperti sedang meneliti gea (cacing tanah). Biasanya petani didesa ini membawa anak mereka kelahan pertanian dan membebaskan anak-anak untuk bermain dan memastikan posisi anak-anak tersebut tidak jauh dari mereka.

Mangalap gogo majo hita (beristirahat dan makan siang), ujar salah seorang petani. Saat makan bersama, petani akan berdoa bersama yang dipimpin oleh yang tertua atau penatuah atau petani yang dihunjuk untuk mendoakan makan dan minuman yang akan disantap bersama (bekal).

Mayoritas masyarakat didesa ini bergantung pada sektor pertanian. Pertanian tersebut sudah menghidupi kurang lebih 515 KK hingga saat ini. Sebagai sumber pendapat keluarga, biasanya mereka (petani) membuat kalender panen harian, mingguan, bulanan hingga tahunan. Dengan demikian kebutuhan keluarga bisa tercukupi. Sektor pertanian merupakan sumber penghidupan yang sudah digeluti dan dikuasai oleh masyarakat desa Sileuh-leuh Parsaoran. Rantai ekonomi juga sudah sangat baik dibangun didesa ini. Petani bisa langsung menjual hasil pertaniannya ke pengumpul-toke didesa mereka atau langsung kepasar tradisional bahkan sudah ada yang sudah menjual keluar negeri.

“Bagaimana kami tidak berjuang mempertahankan tanah ini, tanah yang dimiliki oleh oppung kami (leluhur) dikerjakan dengan jerih payah, kini sudah sangat subur dan menghidupi kami. Oleh karena itu tanah tersebut wajib dijaga dan dirawat, apabila tidak kami jaga atau tidak dirawat sama halnya kami tidak menghormati oppung kami”, ujar inang Sihotang salah satu petani di desa tersebut.

Kilas balik Sejak 2020 lalu, masyarakat Sileuh-leuh Parsaoran (KTB) dibenturkan dengan sebuah perusahaan pemanen kayu di hutan alam. Atas legalitas dari pemerintah, PT. Gruti akan memanen kayu di hutan 5 Desa di kabupaten Dairi. Ditengah gencarnya pemerintah (Presiden Joko widodo) menyuarakan pengendalian perubahan iklim, PT. Gruti justru diberikan izin yang dapat meningkatkan deforestasi dan dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan dan krisis ekologi.

Tidak terbayang bila nantinya petani Sileuh-leuh Parsaoran harus kehilangan tanahnya. Peralihan dari pertanian ke sektor lain sudah pasti akan mempengaruhi sisi kehidupan masyarakat di Sileuh-leuh Parsaoran. Karena petani bukan hanya sebagai profesi atau pekerjaan didesa ini. Pertanian dan tanah justru merupakan budaya, identitas dan menjadi kompas dalam membangun peradaban di Desa Sileuh-leuh Parsaoran.