Mengenal Dampak Perubahan Iklim Secara Global

Kebakaran hutan di Pulau Komodo, Yunani, dan Turki, banjir di Filipina dan Eropa barat, hingga gelombang ekstrim di Kanada menjadi dampak mengerikan terbaru dari perubahan iklim. Mengkonfirmasi hal ini, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) melaporkan hasil studi terbaru mengenai kenaikkan suhu permukaan bumi yang diperkirakan akan naik hingga mencapai lebih dari 1,5 derajat dalam kurun waktu kurang lebih dua dekade ke depan, meleset dari target Perjanjian Paris (Paris Agreement).

Laporan tersebut menyebutkan upaya dalam mengurangi emisi sekarang ini tidak akan mampu mencegah kenaikkan suhu permukaan bumi hingga tahun 2050 mendatang. Hal ini tentunya bisa mengakibatkan fenomena perubahan cuaca ekstrim seperti meningkatnya potensi terjadinya gelombang panas, hujan lebat, atau siklon tropis. Selain itu, sejumlah kawasan pun akan mengalami musim kemarau yang diprediksi berlangsung lebih lama.

IPCC juga berpendapat bahwa aktivitas manusia yang menjadi penyebab utama dalam perubahan drastis pada iklim, hingga berdampak pada lingkungan seperti kenaikkan permukaan laut, mencairnya es di kutub dan gletser, fenomena gelombang panas, banjir, kebakaran hutan, kekeringan, hingga gagal panen.

Sejak laporan terakhir IPCC pada tahun 2014 silam, para ilmuwan meyakini bahwa perubahan iklim akan melaju lebih cepat. Solusi yang sekiranya memungkinkan untuk dilakukan adalah mengurangi emisi gas rumah kaca dalam skala besar dan penggunaan bahan bakar fosil. Akan tetapi, upaya ini terhalang oleh sikap pemerintah, pelaku usaha, maupun konsumen. Ilmuwan iklim Institute for Atmospheric and

Climate Science dari Universitas ETH Zurich, Swiss, Sonia Seneviratne berpendapat bahwa dunia kini sudah menghadapi krisis iklim dan hal ini merupakan masalah yang sangat besar.

Seberapa cepat perubahan iklim mempengaruhi lingkungan?

Menurut Climate Action Tracker, lembaga asal Jerman, pada tahun 2015, para pemimpin dunia berjanji untuk memperlambat laju pemanasan global di bawah 2 derajat celcius, atau paling ideal yaitu 1,5 derajat celcius melalui Perjanjian Paris. Namun, pada kenyataannya, dunia sedang mengarah pada level kenaikkan suhu sebesar 3 derajat celcius. Angka ini merupakan angka rata-rata dunia, yang berarti negara di bagian Utara bisa saja mengalami kenaikan suhu sebesar 2 derajat, namun negara lain di bagian Selatan bisa mengalami kenaikan suhu hingga 7 derajat.

Implikasinya, akan banyak tempat di dunia yang tidak layak huni. NASA meyakini pemanasan global ini akan paling parah mempengaruhi Asia Tenggara dan Asia Selatan.

Meski terlihat kecil, dampak yang dihasilkan pemanasan global 3 derajat celcius lebih mengerikan daripada 1,5 derajat celcius. Dengan pemanasan 1,5 derajat celcius saja, ketinggian permukaan laut akan naik hingga 48 cm hingga menyebabkan banjir hebat dan tenggelamnya kota di tepi pantai, laut akan memanas 16 kali lipat hingga mengancam spesies laut dan sumber makanan, akan ada penambahan rata-rata 19 hari dengan gelombang panas ekstrim yang meningkatkan potensi kebakaran hutan, akan ada 2 bulan kekeringan dalam setahun yang meningkatkan potensi kekeringan dan gagal panen serta kelangkaan air. Sementara dengan pemanasan 3 derajat celcius, ratusan juta orang akan kehilangan tempat tinggal akibat tenggelamnya rumah mereka, laut akan memanas 41 kali lipat, dan akan ada 10 bulan kekeringan dalam setahun.

Selain bencana alam, perekonomian manusia pun akan menanggung akibatnya. Rata-rata produk domestik bruto (GDP) dunia akan menurun hingga 8% pada kenaikan suhu 1,5 derajat celcius dan 13% pada kenaikan suhu 2 derajat celcius. Dunia juga akan merugi 10,2 triliun dolar per tahun akibat banjir pada kenaikan suhu 1,5 derajat celcius, dan merugi 11,7 triliun dolar per tahun pada kenaikan suhu 1,5 derajat celcius.

Berpacu dengan waktu

Jakarta merupakan kota yang tenggelam paling cepat di dunia, disusul Ho Chi Minh City, Bangkok, New Orleans, dan Tokyo. Negara kepulauan termasuk Indonesia, merupakan negara yang paling cepat tenggelam akibat pemanasan global.

Guna memperlambat laju pemanasan global, kita perlu mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 6% per tahun menuju 2030. Angka ini setara dengan pengurangan emisi gas rumah kaca pada 2020, ketika pandemi COVID-19 mengurangi mobilitas manusia dan produksi pabrik dengan bahan bakar fosil.

Generasi Hijau, upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dapat dilakukan dengan melakukan transisi radikal menuju ekonomi sirkular. Secara global, semua negara harus beralih dari penggunaan bahan bakar fosil dan industri ekstraktif. Sementara dalam tingkat individu, kita sebagai warga negara dan konsumen, harus sadar menerapkan pola konsumsi dan produksi berkelanjutan dalam keseharian kita.

#Salam_Satu_Iklim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *