Climate Apartheid adalah sebuah pengkastaan manusia berdasarkan bagaimana mereka mampu menyelamatkan diri dari berbagai malapetaka kerusakan iklim. Batas air laut naik? Banjir? Konglomerat bisa memindahkan keluarga dan tempat tinggal mereka tanpa pikir panjang. Kekeringan berkepanjangan? Konglomerat tinggal membeli dan menimbun air bersih banyak-banyak untuk mereka sendiri. Ancaman kebakaran? Mereka bisa saja mempekerjakan tim pemadam pribadi. Harga pangan naik? Bisa jadi mereka malah meraup keuntungan karena turut memiliki usaha di bidang pangan.
Pada potensi skenario Climate Apartheid ini, tentu saja para konglomerat perusak bumi tidak akan begitu peduli pada perubahan iklim, karena mereka merasa mampu menghindari konsekuensi-konsekuensinya. Sementara rakyat biasa yang hanya menyumbang sedikit emisi karbon, justru yang akan paling menderita akibat eksploitasi alam mereka.
Lalu bagaimana dengan pemerintah dan para pemimpin negara? Kurang lebih, bisa dibilang impoten. Politisi disponsori partai dan partai disponsori pengusaha, bahkan tak jarang juga pengusahalah yang turun sekalian menjadi politisi. Lingkaran setan kerja sama dalam keserakahan. Bahkan tidak hanya impoten, pemimpin negara justru bisa jadi pencetus malapetaka bagi alam.
Tidak jauh berbeda dengan negara, lembaga-lembaga lain yang memiliki pengaruh dan massa yang kuat juga tidak jauh berbeda. Lembaga agama, partai politik, organisasi masyarakat pun tidak mampu berbuat banyak. Mereka lebih memilih posisi aman untuk terus menjaga hubungan baik dengan penguasa dan pengusaha bahkan cenderung berlomba-lomba untuk mengakses berbagai bantuan dan dana CSR (Corporate Social Responsibility) tanpa memiliki rasa kritis terkait dampak yang ditimbulkan.
Berbagai bencana alam yang terjadi sudah merenggut banyak korban dan mayoritas korbannya adalah masyarakat miskin yang tidak memiliki kemampuan untuk menyelamatkan diri dari bencana yang terjadi. Padahal kalau dilihat dari penyebab terjadinya bencana alam sepertinya kerakusan dan ketamakan manusia adalah penyebab utama terjadinya bencana. Banjir yang disebabkan meningkatnya laju deforestasi, kekeringan yang disebabkan pemasan global, naiknya suhu bumi akibat proses industrialisasi, hujan es dan angin puting beliung akibat perubahan iklim dan berbagai ancaman lainnya menjadi ancaman serius keberlanjutan ruang hidup masyarakat.
Climate apartheid yang disebabkan ketidakadilan iklim menjadi salah satu persoalan terbesar kemanusiaan di abad ini. Namun sialnya tidak banyak yang memberi perhatian serius untuk menghentikan kegilaan ini. Deru mesin industri penghasil emisi karbon semakin kuat, laju deforestasi masih sulit ditekan, penggunaan energi baru dan terbarukan masih jalan ditempat dan berbagai aktifitas pemicu pemanasan global lainnya terus meningkat untuk mengejar produktifitas dan pertumbuhan ekonomi. Padahal pernahkah kita menghitung berapa banyak potensi pendapatan yang hilang akibat resiko iklim dan bencana.
Pertumbuhan ekonomi berbasis industrialisasi dianggap tidak lagi ideal tanpa mempertimbangkan keselamatan lingkungan dan alam. Agresifitas pembangunan sejak dimulainya era industri yang mengesampingkan keseimbangan alam dianggap pemicu utama terjadinya berbagai bencana. Kenaikan suhu bumi diatas 2 derajat celcius akibat pemanasan global merupakan dosa besar di era industri yang harus segera dihentikan.
Ketidakadilan iklim harus direspon dengan langkah adaptasi dan mitigasi. Masyarakat miskin seperti petani, nelayan, masyarakat tepi pantai yang menjadi penerima resiko terbesar harus ditingkatkan ketangguhannya agar mampu beradaptasi sebagai upaya pengurangan resiko karena sekarang resiko itu tidak bisa lagi dihindari. Disisi yang lain mereka para penghasil emisi karbon terbesar harus berkomitmen untuk mengurangi semua aktifitas yang memproduksi gas emisi karbon sehingga kenaikan suhu bumi bisa ditekan.
Hal itu harusnya menjadi komitmen kita bersama untuk menekan jurang disparitas climate apatheid yang sangat mengkuatirkan. Keadilan iklim adalah cita-cita global agar dunia semakin baik dimasa yang akan datang dan reskio iklim dan bencana bisa diminimalisir untuk keberlanjutan hidup generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
One world, One Climate, One futute. Together For Climate Justice