“Mangamoti”


Inang Op. Putri Pakpahan baru saja memanen padi organik dari lahan pertaniannya. Menambah semangat memanen, keluarga inang Pakpahan mangamoti diareal sopo (pondok) mereka. Budaya mangamoti ini selalu dilakukan saat mereka sedang memanen padi. Mangamoti merupakan kearifan local masyarakat Batak Toba sebagai wujud rasa syukur petani atas hasil panen yang mereka dapatkan tiap tahunnya dan berdoa agar panen-panen berikutinya dapat meningkat. Pada saat mangamoti, petani biasanya menyembelih ayam atau babi.

Memanen padi sudah selesai dilakukan, saatnya memanen sayur organik dari kebun keluarga yang dimilikinya untuk dipasarkan esok harinya. Biasanya staf Petrasa akan datang menjemput sayur organik Inang Pakpahan di Desa Kentara Kecamatan Lae Parira untuk membantu memasarkan, menjangkau konsumen tetap. Sambil beristirahat, Inang pakpahan bercerita tentang pengalamannya setelah 4 tahun bertani organik.

Pertanian organik tidak hanya mempengaruhi pola pertaniannya namun juga pola konsumsi keluarga. “Dung Marorganik, nga moru be hami mangallang mie instan, dang dipakke hami be penyedap rasa kimia amang”. Setelah bertani organik, keluarga inang pakpahan sudah jarang mengkonsumsi mie instan dan tidak lagi menggunakan micin pada saat memasak.  Inang Pakpahan tidak hanya bertani padi dan sayuran organik namun juga membudidayakan buahan, beternak lele dan ayam secara organik. Ketergantungan dengan makanan cepat saji perlahan berkurang dan meningkatnya pola konsumsi hidup sehat menjadi dampak dari pelatihan-pelatihan yang didapat inang Pakpahan.

Arah cerita sempat juga menyinggung tentang daur pengetahuan lokal yang sudah mulai ditinggalkan. Marsiadapari, marsiruppa(bergotong-royong), tangiang boni, mangamoti perlahan-lahan hilang karena semua layaknya kejar target. Semua sudah serba uang. Makanan lokal juga sekarang sudah tidak dianggap gaul, semua harus serba instan. Manggadong atau makan singkong tidak lagi menjadi santapan ketika berkumpul dengan keluarga, namun lebih sering dipandang sebagai pakan ternak.

Masa-masa bagaimana suatu mekanisme industri pertanian mengubah daur pengetahuan petani. Melalui program Revolusi Hijau, menjadi cikal bakal munculnya cara-cara atau teknologi bertani modern. Sejak tahun 1980-an, bibit unggul-hibrida, dan penggunaan pupuk pestisida kimia melengserkan perlahan pengetahuan lokal tadi. Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras.

Dampak negatif dari Revolusi hijau dirasakan oleh petani hingga saat ini. Hilangnya kemandirian dan kedaulatan petani menjadi penyebab hilangnya pengetetahuan lokal tadi. Petani digiring memacu tingkat produksi, yang penting hasilnya banyak, uangnya juga akan banyak. Untuk mengejar produksi, petani akan meningkatkan penggunaan pupuk kimia dan akhirnya tanah akan semakin rusak. Jika tanah semakin rusak, maka penggunaan pupuk kimia juga akan semakin ditingkatkan. Sementara dari penggunan bahan pertanian kimia tadi, Penikmat utama dari kebiasaan instan tadi adalah mereka pemilik modal atau para pengusaha dibidang pertanian hingga perusahaan makanan.

Kebiasaan instan dari sektor pertanian juga mempengaruhi pola konsumsi keluarga. Inang Pakpahan juga bercerita bagaimana dulunya mereka disaat bertani kimia. Kandungan makan yang dikonsumsi bukanlah menjadi masalah. Yang penting bagaimana bisa cepat dan rasanya lezat. Inang Pakpahan mengingat masa sebelum bertani organik, jika dihitung-hitung biaya pembelian micin dan produk mie instan tiap harinya dikalikan dengan minggu atau bulan, uang itu sudah bisa digunakan untuk membeli baju baru untuk anak-anaknya.

Sebelum bertani organik, inang pakpahan menggunakan 7 saset micin dan mengkonsumsi mie instan 6 bungkus perminggunya. Berarti selama seminggu, satu keluarga dapat menghasilkan sampah sekitar 13 biji. Jika kita kalikan dengan jumlah kepala keluarga di kabupaten Dairi 66.825 (Portal.dairikab.go.id) maka Dairi minimalnya menyumbang 868.725 sampah plastik perminggunya dan 46.911.150 sampah plastik pertahunnya.  Jika kita rata-ratakan berat sampah plastik persasetnya adalah 0,8 gram maka tiap tahunnya kita menyumbangkan minimal 37.528,92 ton sampah.

Sebelumnya, diskusi dengan Bapak Martua Sinaga (Sekretaris Kadis Lingkungan Hidup Kab. Dairi), petugas kebersihan belum menjamah semua kecamatan masih pada 6-8 dari 15 kecamatan dalam hal pengambilan sampah untuk dibuang ke TPA. Ini berarti masih banyak sampah-sampah dihamburkan disembarangan tempat.

Pun, sampah plastik yang kita hasilkan tiap harinya tidaklah muda untuk terurai bisa 10-500 tahun lamanya (kompas.com). Sudah hal pasti sampah yg kita hasilkan dapat merusak tanah dan ekologi yang disebabkan oleh bencana akibat sampah. Berarti kita adalah salah satu penyumbang dan penyebab perubahan iklim. Maka cuaca ekstrim, bencana dan kerusakan lingkungan adalah disebabkan oleh kita sendiri.

Organik bukanlah hanya sebatas bagaimana tidak menggunakan pupuk kimia, namun juga pola konsumsi keluarga harus didukung dengan bahan-bahan yang menyehatkan. “sia-sia do molo hita mengkonsumsi produk pertanian organik hape ditikki mangaloppa tapakke dope penyedap rasa na kimia”. Tubuh kita akan tidak sehat jika kita menggunakan micin walau kita mengkonsumsi produk organik. Bertani organic juga akan membantu pemulihan tanah dari residu yang tinggi akibat kehadiran obat-obat pertanian kimia.

Selain sehat, dengan berorganik kita juga akan lebih hemat.