Sidikalang, (10/02/21) –Sekitar 60 orang perwakilan dari Kelompok Tani Bersatu (KTB) Desa Sileuleuh Parsaoran bersama Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU) dan YAYASAN PETRASA mendatangi Polres Dairi (4/2/21), untuk mendampingi 3 orang anggota KTB yang dipanggil polisi untuk dimintai keterangan sebagai saksi atas laporan Ahmad Syawal Pasaribu yang merupakan perwakilan dari perusahaan PT. Gruti. Adapun yang menjadi Laporan dari PT. Gruti kepada Polres Dairi bertanggal 13 November 2020 ialah atas dugaan tindak pidana kekerasan terhadap barang atau pengrusakan secara bersama-sama.
Masing-masing terlapor yang dimintai keterangan bernama Sualon Sianturi (29), Maraden Sihombing (44) dan Patar Sihombing (22) yang merupakan bapak dan anak. Mereka dituduh telah melakukan dugaan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 ayat (1) dari KUHPidana Yo Pasal 406 Ayat (1) Yo Pasal 55 Ayat (1) ke-1e dari KUHPidana yang diketahui terjadi pada tanggal 12 November tahun 2020. Atas pelaporan tersebut, masyarakat petani di KTB tidak terima karena tuduhan tersebut tidaklah benar. Bahwa yang benar adalah masyarakat mendapati alat berat milik PT. Gruti di lahan pertanian masyarakat yang diduga akan menghancurkan lahan pertanian warga sehingga masyarakat secara bersama-sama mengantarkan alat berat tersebut ke kediaman kepala desa. Pemulangan alat berat milik PT. Gruti bukanlah gerakan yang spontan melainkan hasil dari kesepakatan masyarakat bersama dengan kepala desa mereka.
Kedatangan massa petani sebanyak itu tentu saja berdasarkan rasa marah kepada pihak PT. Gruti yang telah semena-mena membuat tuduhan. Padahal masyarakat hanya berusaha menjaga lahannya karena ada alat berat masuk menghancurkan lahan pertanian mereka. Massa petani juga keberatan jika pihak kepolisian gencar mengeluarkan surat panggilan kepada petani. Apalagi dengan situasi Covid 19 saat ini, panggilan seperti ini sangat cepat mengundang kerumunan massa. Sebab selain rasa senasib dan sepenanggungan, masyarakat yang mendatangi Polres tersebut juga berkomitmen, jika satu orang teman mereka di panggil, semua petani akan datang menghadiri. Bahkan jika salah satu dari mereka sampai ada yang di tangkap, massa petani akan datang lebih banyak lagi untuk membebaskan temannya. Karena memang masyarakat petani tidak pernah merasa melakukan seperti apa yang dituduhkan oleh pihak PT. Gruti tersebut.
Kedatangan massa petani tersebut mengundang perhatian dari Wakapolres Dairi Kompol David P Silalahi dan jajarannya, Satreskim Dairi dan Penyidik Kasus dugaan perusakan alat berat PT Gruti. Sehingga Wakapolres mengajak seluruh warga untuk berdiskusi di aula Polres dairi. Dalam kesempatan tersebut Wakapolres mengatakandan meyakinkan masyarakat bahwa tiga orang teman mereka yang dipanggil hanya menjadi saksi dan akan dimintai keterangan saja dan tidak ada intimidasi serta penahanan terhadap saksi. “Kepolisian harus meredakan dan menyelesaikan permasalahan ini dengan objektif sesuai dengan fungsi kepolisian yang tertuang dalam UU No 2 tahun 2002,” tegasnya saat menerima massa petani di Aula Polres.
Ditambahkan Wakapolres, “dengan situasi pandemic covid 19 saat ini, kepolisian melarang adanya kerumunan, karena akan menyebabkan klaster baru dan akan menjadi penjeratan terhadap orang yang membawa kerumunan tersebut” bahkan Wakapolres menyampaikan hasil rapat dari Pemerintah kabupaten Dairi dengan stakeholder akan membentuk panitia Khusus (pansus) dalam penyelesaian sengketa tanah antara masyarakat terdampak dengan PT. Gruti.
Namun, dengan tegas pengacara dari BAKUMSU Roy Marsen Simarmata menyampaikan agar pihak kepolisian menunda penanganan pelaporan ini sampai pandemi ini selesai. Karena jika dilanjutkan, masyarakat akan datang lebih ramai lagi mengkawal proses hukum yang menimpa sesama petani, dan itu sangat sulit untuk dihempang. Selain dengan situasi Pandemic Covid-19, ia juga menanyakan kepada Wakapolres terkait aktivitas PT. Gruti yang terkesan tidak menghormati keputusan pemerintah kabupaten Dairi terkait larangan aktivitas sampai dibentuknya Pansus. “Harusnya Polres Dairi juga tidak merespon laporan dari pihak PT. Gruti karena penyelesaian terkait hak atas tanah akan diakomodir dalam pansus,” tegas Roy.
Menanggapi itu, Wakapolres tetap bertahan pemeriksaan akan terus berjalan dan meminta masyarakat untuk pulang, sementara saksi bisa di temani oleh beberapa keluarga dan pendamping hukumnya saja. Pemerikasaan tetap di lakukan, namun masyarakat memilih menunggu proses nya hingga malam hari. Massa petani menunggu di halaman Polres namun tetap mengindahkan protokol kesehatan, jaga jarak dan pakai masker. Masyarakat tetap berkomitmen akan terus melancarkan ajakan solidaritas berbagai jaringan petani untuk mewaspadai apabila teman mereka di tahan.
Hingga saat ini, di desa, masyarakat masih berkomitmen menolak PT. Gruti. Untuk memperkuat diri, para petani tersebut mengorganisasikan dirinya hingga membentuk kelompok petani yang bernama Kelompok Tani Bersatu di Desa Sileuh-leuh Parsaoran. Alasan mengapa mereka menolak PT. Gruti adalah selain mempertahankan tanahnya, mereka juga khawatir operasi PT. Gruti akan menyebabkan bencana alam akibat penebangan kayu di hutan alam.
PT Gruti adalah perusahaan yang bergerak di bidang kayu yang mendapatkan izin IUPHHK HA dari Kementerian Kehutanan dengan SK Menhut No.32 Tahun 2007, memberikan luasan 126.550 Ha. Untuk areal kerja PT. Gruti di sektor Tele II, ada sekitar 8850 HA yang menimpa lahan masyarakat di berberapa desa, termasuk lahan masyarakat di Desa Sileuh-leuh Parsaoran.
Dengan perkiraan luasan penebangan tersebut, masyarakat merasa terancam dengan kehadiran PT Gruti. Akan menebang pohon-pohon yang tumbuh di sekitar Tombak Sitapigagan. Jika pohon-pohon di tebang dalam skala besar seperti itu, maka akan mengakibatkan banjir bandang. Sebab pohon-pohon itu selama ini berfungsi sebagai penyangga lahan gambut tempat tumbuhnya Raso di tengah Tombak Sitapigagan. Jika pohon rusak, Raso akan meledak. Tombak Sitapigagan akan gundul dan akan mengakibatkan bencana yang parah. (Divisi Advokasi)