“Molo so mangula, dang mungkin sanggup hami pasikkolahon sude i anakhon nami ” (Kalau bukan dari bertani, tidak mungkin kami sanggup menyekolahkan anak-anak kami) –Pak Edu Sihotang-
Dalam setiap kesempatan berdiskusi dengan kelompok masyarakat petani dampingan, isu tanah dan pertanian menjadi topik yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Isu ini juga dapat merangkul semua peserta diskusi baik masyarakat petani maupun non-petani.
Banyak yang sepakat, hak atas tanah harus tetap diperjuangkan. Namun dalam banyak kondisi, masyarakat petani sering dibenturkan dengan pilihan sulit. Misalnya, dalam kehidupan masyarakat Batak, sering kali petani rela menjual tanahnya demi menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Banyak yang justru memaknai pepatah “anakhon hi do hamoraon di au” adalah menggap anak adalah asset, modal masa depan, diukur dengan kemampuanya kelak mencetak laba. Padahal, anak adalah simbol regenerasi harajaon, yang sangat erat kaitannya dengan simbol penguasaan tanah. Bahwa “lulu tano, lulu anak, lulu boru, lulu harajaon”. Apabila kehilangan tanah, maka hilang juga harajaon. Tanah adalah identitas.
Banyak yang berharap anaknya akan menjadi pejabat tinggi, menjadi Polisi, menjadi Tentara, Manager, bekerja di perusahaan besar, dan sebisanya bergaji tinggi. Anggapan yang demikian justru menjadikan pekerjaan petani itu sendiri adalah pekerjaan yang terbelakang. Pada akhirnya, rasa percaya diri menjadi petani kian berkurang. Terlihat dari pesan mereka kepada anak cucunya,“kelak tidak lagi berprofesi petani.”
Sektor pertanian dianggap bukan satu pekerjaan yang mensejahterakan. Banyak petani yang menganggap bekerja di kantoran atau perusahaan merupakan awal dari kemajuan. Baik dari segi pembangunan infrastruktur, ekonomi, hingga peningkatan taraf hidup sejahtera.
Padahal, jika kita gali lebih jauh, petani berhubungan erat dengan sumber kehidupan, yakni ‘tanah dan alam’. Hasil pertanian menjadi sumber pangan seperti padi, sayuran, cabai, bawang, dan buah-buahan. Memanfaatkan sumber air untuk beternak atau memancing ikan sebagai sumber lauk. Dan itu semua dihasilkan dari tanah-alam petani itu sendiri.
Pada bulan Oktober 2020, selama empat belas hari, Divisi Advokasi Petrasa diberi mandat untuk ‘belajar bersama’ kepada petani. Topiknya belajar tentang Sistem Pertanian dan Perekonomian. Lokasi belajar terletak di Desa Sileu-leu Parsaoran, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi. Kami disambut masyarakat dengan baik, dan menemukan banyak cerita tentang kehidupan petani. Sehari-harinya mereka bekerja di ladang dari jam tujuh pagi hingga jam lima sore, mulai dari menanam, merawat dan memanen. Setelah pulang dari ladang, mereka memasak konsumsi keluarga, baik itu nasi, air minum, lauk-pauk. Proses masak-memasak masih rata-rata menggunakan kayu bakar. Untuk sumber air rumah tangga, tersedia sumber air minum dari alam tanpa harus membeli. Jarang sekali mereka mengkonsumsi makanan instan.
Di malam hari, kami mengajak beberapa petani untuk berdiskusi tentang sistem pertanian dan bagaimana pengaruhnya dengan peningkatan ekonomi mereka. Untuk pendapatan harian, sebagian dari petani ada yang menaman tembakau. Ternyata, 10 Kg daun tembakau basah setelah diiris-dijemur-diembunkan, dapat menghasilkan satu kilogram daun tembakau kering seharga 45 ribu hingga 60ribu per kilogramnya. Rata-rata satu keluarga dapat menjual 2 kg daun tembakau kering tiap harinya.
Untuk pendapatan mingguan hingga bulanan, petani membudidayakan tanaman kopi, umbi-umbian, sayuran, jeruk dan lainnya. Setelah dihitung bersama, rata-rata petani mendapat penghasilan minimun Rp 4.000.000/bulan dari lahan ± 1 Ha. Bila bekerja secara maksimal, mereka akan berpenghasilan puluhan hingga ratusan juta perbulannya. Ini berarti petani berpenghasilan tidak terbatas apalagi sudah ada masyarakat yang menjual hasil tani mereka keluar negeri yakni Singapura dan Malaysia.
Pak Edu Sihotang, salah seorang anggota dampingan Petrasa di desa ini, mensyukuri profesinya sebagai petani. Delapan orang anaknya kini sudah tamat dari Sekolah Menengah Atas. Ia menambahkan:
“Perbedaan petani dengan yang bekerja dikantoran hanya dalam segi penampilan pada saat bekerja. Orang yang bekerja dikantoran berpakaian rapi, pake sepatu pancus sedangkan petani berpakaian robek-robek dan harus bersentuhan dengan tanah. Soal pendapatan mereka sudah terbatas sementara kami berpenghasilan sesuka hati”
Arah cerita sempat juga menyinggung tentang daur pengetahuan lokal yang sudah mulai ditinggalkan. Bahkan perlahan-lahan hilang, seperti marsiruppa (bergotong-royong), tangiang boni dan nitak gabur (doa benih sebelum ditanam). Sejak tahun 1980-an, menjadi masa-masa bagaimana suatu mekanisme industri pertanian mengubah daur pengetahuan petani. Melalui program Revolusi Hijau, menjadi cikal bakal munculnya cara-cara atau teknologi bertani modern, seperti penggunaan bibit unggul-hibrida, dan penggunaan pupuk pestisida kimia melengserkan perlahan pengetahuan lokal tadi.
Kedatangan PT Gruti dan Masalah Baru
Lokasi belajar tersebut cukup menarik untuk didalami, sebab desa tersebut menjadi salah satu desa yang dimasuki konsesi PT. Gruti. Bagaimana menyoroti pertanian ditengah operasi perusahaan kayu yang memiliki izin seluas 8850 Ha? Bagaimana nasib hutan yang akan ditebangi oleh perusahaan kayu tersebut? Ini menjadi bagian pendalaman yang panjang. PT. Gruti memiliki izin berdasarkan keputusan dari Kementrian Kehutanan Nomor SK 32/MENHUT-II/2007 Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada Hutan alam dengan luas konsesi 8850Ha di 5 Desa dikabupaten Dairi yaitu Desa Perjuangan, Desa Barisan Nauli, Desa Pargambiran, Desa Sileu-leu dan Desa Parbuluan VI
Menurut informasi dari masyarakat, perusahaan melakukan sosialisasi dan menjanjikan banyak hal kepada masyarakat. Mulai dari penanaman kopi, pembuatan pabrik kopi, tidak akan menebang hutan (pohon), pembangunan jalan, pembuatan wisata hutan hingga menjanjikan masyarakat menjadi karyawan pada perusahaan tersebut. Dampak sosialisasi membuat sebagian masyarakat berniat akan bekerja ganda, yakni menjadi petani dan karyawan perusahaan. Padahal, jika dipahami, izin perusahaan dari Kemenhut sudah pasti bergerak di bidang memanen kayu, dari hasil memanfaatkan hasil hutan. Dan itu artinya pastilah melakukan penebangan pohon alam.
Jika perusahaan melakukan penebangan pohon di hutan alam dalam skala yang besar, maka dikhawatirkan akan mendatangkan bencana. Dari hasil penelusuran cerita saat berdiskusi, ternyata di desa ini, tepatnya di sebelah timur Tombak Sitapigagan, terdapat sebidang hamparan berupa lahan gambut, yang dinamakan Raso. Raso adalah pohon yang menyerupai pandan dan berduri. Penduduk menamakan lokasi itu Raso karena banyak terdapat tumbuhan Raso. Menurut masyarakat yang sudah pernah kesana, daerah Raso merupakan gambut yang jika diinjak, tanahnya akan bergoyang seperti lumpur hidup.
Raso kemudian menjadi sumber empat sungai yang mengaliri desa Sileu-leu, yakni Lae Sigilang, Lae Patuak, Lae Sipaha, dan Lae Manalsal. Raso juga merupakan sumber air Lae Bonan Dolok yang mengalir ke Silalahi, Danau Toba. Ada yang bilang, luas Raso sekitar dua kali lebih besar ukuran lapangan sepak bola.
Apabila pepohonan di sekitarnya di tebangi, maka akan menyebabkan banjir bandang hingga ke kawasan pemukiman masyarakat. Dan itu sudah pasti akan merusak lahan pertanian dan ruang hidup masyarakat.
Penutup
Kita menyadari bahwa tanah-alam sangatlah penting dan satu-satunya hal yang harus diperjuangkan. Untuk mewujudkan hidup petani yang harmonis harus sejalan dengan ritme alam. Alam menyediakan semuanya bagi kita. Air yang berlimpah, udara yang segar, tanah yang subur menjadi senjata kita untuk hidup. Menjaga dan Merawat alam dengan sistem pertanian yang selaras dengan alam merupakan salah satu cara kita untuk menjaga ruang hidup. Maka untuk mengatasi masalah baru tersebut, keadaan harus di balikkan, yakni menolak PT. Gruti agar penghidupan dari bertani tetap berlanjut.
(pudan)