Masanobu Fukuoka, penulis buku The One-Straw Revolution: An Introduction to Natural Farming menulis dalam bukunya, “…bukannya teknik bertanam yang merupakan faktor yang paling penting, melainkan lebih kepada pikiran petaninya.”
Sejatinya, pernyataan Masanobu Fukuoka ini sejalan dengan perhatian PETRASA. Demi mendorong pertanian selaras alam, kami memberikan pemahaman dari berbagai sudut pandang kepada petani organik di Kabupaten Dairi.
Pada Selasa hingga Rabu, tepatnya 24-25 Juli lalu, PETRASA bersama dengan 10 orang petani organik dari berbagai desa di Kabupaten Dairi berkumpul di Kantor Petrasa untuk mengikuti pelatihan dan diskusi tentang Penjaminan Mutu Organik (PAMOR).
Ada tiga sistem penjaminan kualitas produk organik. Ketiganya adalah sistem penjaminan diri sendiri, sistem penjaminan pihak ketiga, dan sistem penjaminan komunitas atau Participatory Guarantee System (PGS). Sistem penjaminan diri sendiri berupa klaim yang sifatnya pribadi. Sebaliknya, sistem penjaminan pihak ketiga melibatkan sebuah lembaga yang diakui pemerintah untuk mensertifikasi sebuah produk.
Sementara itu, PGS adalah sebuah sistem penjaminan mutu organik yang berdasar pada partisipasi aktif dari berbagai stakeholder yang dibangun berlandaskan kepercayaan, jaringan sosial, dan pertukaran pengetahuan. Artinya orang yang terlibat dalam menjamin kualitas organik sebuah produk berasal dari pihak-pihak yang terlibat aktif seperti petani, lembaga swadaya masyarakat, konsumen, ahli gizi, dan pemerintah daerah.
Dalam perjalanannya, bisnis pertanian organis di seluruh dunia terkendala dengan sistem sertifikasi produk mereka. Selama ini, sistem sertifikasi pihak ketiga seolah menjadi jawaban satu-satunya untuk memastikan organik tidaknya produk petani.
Di sisi lain, prosedur sertifikasi yang panjang dari sistem penjaminan pihak ketiga memberatkan petani kecil. Prosedur yang panjang tentu memakan waktu yang lama pula. Apalagi letak lembaga sertifikasi pihak ketiga umumnya ada di ibukota atau kota besar. Petani kecil kesulitan untuk mengaksesnya.
Selain itu, sistem sertifikasi pihak ketiga juga membutuhkan banyak biaya hingga mencapai ratusan juta. Tentu petani kecil tidak mampu mengeluarkan uang sebanyak itu untuk mendapat sertifikat. Oleh karena itu, PGS hadir sebagai alternatif penjaminan mutu yang sama meyakinkannya dengan sertifikasi pihak ketiga.
Sejatinya, di beberapa negara seperti Thailand dan Argentina, sistem PGS sudah dikenal dan bahkan diakui oleh pemerintah. Di Indonesia, sistem PGS ini dikenal dengan nama Penjaminan Mutu Organik (PAMOR) pada tahun 2008 di Yogyakarta. Saat ini PAMOR berada dalam naungan Aliansi Organis Indonesia (AOI) dan gencar memberikan sosialisasi PAMOR di seluruh Indonesia.
Inilah yang menjadi agenda diskusi petani organik bersama PETRASA dengan AOI. Diskusi yang dilaksanakan selama dua hari ini dibuka oleh Restu Aprianta Tarigan, perwakilan PAMOR Sumatera Utara. Ia menjelaskan penjaminan mutu produk organis penting untuk menjembatani kepercayaan antara petani dan konsumen. Alasan ini yang kemudian menjadi pintu masuk untuk menjelaskan pentingnya PAMOR bagi para peserta diskusi.
“Ada tiga motto PAMOR yang penting untuk diingat. PAMOR itu murah, mudah dan terpercaya. Murah secara biaya, mudah secara proses, dan terpercaya karena melibatkan pihak-pihak yang ada di sekitar kita,” terang pria yang akrab dipanggil Anta.
Suasana diskusi sangat hidup karena para petani dan staf PETRASA aktif bertanya. Mereka antusias membedah lebih dalam sejauh mana PAMOR dapat menjadi jawaban masalah kepercayaan konsumen selama ini. Diskusi juga interaktif karena para petani dilibatkan langsung memberikan ide dan saran untuk membuat standar internal pertanian organis sesuai kearifan lokal petani Dairi.
Koster Tarihoran, petani kopi organik yang telah membuat home industry bernama Sidikalang Arabica Coffee mengaku semangat dengan diskusi PAMOR ini.
“Ini bagus ya, ke depannya semoga bisa lebih banyak orang yang jadi percaya dan mau beli kopi kita kalau sudah tersertifikasi,” ungkapnya disela-sela diskusi.
PAMOR Bisa Menjawab Tantangan Pasar
Pada praktiknya, sejumlah supermarket di Indonesia menjual berbagai produk organik seperti beras dan sayuran. Artinya, produk organik dari petani memiliki peluang pasar yang sangat besar. Akan tetapi, supermarket tetap meminta adanya sertifikat organik demi menjaga kepercayaan konsumen. Inilah yang menjadi tantangan besarnya.
Diskusi pada hari kedua pun berfokus pada peluang pasar produk organik di Indonesia. Peserta diskusi menyambut dengan hangat Direktur AOI St. Wangsit dan Koordinator Program AOI, Nurhania Retno Eka. Mereka menerangkan kehadiran PAMOR dapat menjadi jawaban untuk tantangan pasar yang lebih luas.
Sebelum jauh ke sana, Nia menantang petani organik dan staf PETRASA untuk membedah model bisnis kanvas salah satu produk organik petani Dairi, Sidikalang Arabica Coffee (SAC).
Peserta yang dibagi ke dalam tiga kelompok berdiskusi selama 30 menit. Mereka membedah sembilan komponen model bisnis kanvas dengan mengevaluasi perjalanan SAC dalam setahun terakhir. Melalui diskusi itu para peserta sepakat, ada banyak hal yang perlu dibenahi dalam manajemen bisnis SAC. Meski begitu, petani organik Dairi optimis bahwa SAC bisa lebih baik lagi jika berhasil mendapatkan sertifikat PAMOR untuk menjamin kualitasnya.
Diskusi PAMOR dan Model Bisnis Kanvas Sidikalang Arabica Coffee menjadi pengantar untuk sebuah target yang lebih besar. Anta, Wangsit dan Nia dari AOI bersama dengan PETRASA mengajak para petani organik untuk membentuk UNIT PAMOR di Kabupaten Dairi. Kesamaan tujuan untuk menyejahterakan kehidupan petani organis menjadi roda yang menggerakkan semua pihak AOI, PETRASA, dan petani untuk menginisiasi pembentukan Unit PAMOR Pangula Dairi (UPPD).
Sekretaris Eksekutif PETRASA Lidia Naibaho menyampaikan pentingnya komitmen dari berbagai pihak untuk bisa mewujudkan UPPD. “Kita telah mendapat banyak ilmu baru selama dua hari ini, semoga ini membuka pikiran kita dan kita bisa menjaga semangat supaya bisa membentuk dan membangun UPPD ini.” ujar Lidia merangkum pertemuan tersebut.
Febriana R Tambunan